DEMOKRASI DUA WAJAH
Refleksi Kontekstual
Peristiwa demokrasi melalui pemilihan umum yang terjadi pada 14 Februari 2024 menguak kembali tabir-tabir identitas primordial para calon legislatif dan masyarakat setempat. Identitas primordial merupakan identitas kesukaan dengan beragam adat dan budaya daerah yang dipraktikkan termasuk di dalamnya beragam agama, baik agama suku maupun agama dunia (Titaley, 2001).
Penulis melakukan penelitian khusus mengenai realita dan dinamika yang terjadi di Pulau Seira, Kepulauan Tanimbar. Banyak praktik-praktik yang dilakukan oleh para calon legislatif untuk meraup suara demi tercapainya banyak suara yang telah ditetapkan untuk memenuhi syarat sebagai anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Di Pulau Seira memiliki 26 anak negeri yang mencalonkan diri sebagai anggota DPRD untuk merebut 6 kursi di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, khususnya daerah pemilihan Kecamatan Selaru dan Wermaktian.
Dari selubung perebutan kursi legislator di Kepulauan Tanimbar, sebuah praktik primordial dalam kultur masyarakat Tanimbar adalah Duan Lolat. Duan adalah pemberi anak darah dari pihak perempuan dan Lolat adalah penerima anak darah dari pihak laki-laki. Kedudukan Duan dan Lolat dapat dilihat dalam perspektif sosial politik, di mana seseorang yang berasal dari pihak Duan maupun Lolat ketika dalam kepentingan untuk menyelesaikan masalah maka semua pihak dapat disatukan untuk sama-sama secara kekeluargaan mencari solusi untuk memecahkan masalah yang terjadi. Hal tersebut juga terbawa dalam khazanah politik yang terjadi, seorang Duan maupun Lolat ketika mencalonkan diri sebagai anggota DPRD, maka seluruh pihak dari Duan, Lolat, Urayana (Penerima anak darah dari pihak laki-laki dengan marga yang sama dan sudah lebih dari satu kali), Yana Warin (Adik dan Kaka) dan lainnya.
praktik Duan Lolat merupakan hal positif sebagai peninggalan karya leluhur, akan tetapi budaya tersebut salah dipergunakan hanya karena kepentingan kedekatan keluarga yang mengakibatkan terjadinya pengikisan patriotisme seseorang dengan tujuan untuk memihak kepada rakyat dan mengusahakan kesejahteraan bersama. Kesadaran akan identitas nasional pun terkikis habis akibat masyarakat terlalu cenderung melihat identitas primordial mereka dengan hanya bermodalkan kedekatan keluarga.
Identitas Nasional menjadi titik kesadaran kepada individu maupun kolektif yang begitu kuat mempertahankan identitas primordial yang mengakibatkan identitas nasional terabaikan, padahal identitas nasional telah terwujud pada peristiwa 17 Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945 menjadi dua peristiwa yang sangat fundamental dan krusial sebab terwujudnya penyatuan primordial di dalam nasional yang terpatri dalam kehidupan Bangsa Indonesia (Titaley, 2001). Artinya, identitas primordial dan identitas nasional harus berjalan setara sehingga masyarakat tidak hanya dengan mudah menerima dan memberikan hak suaranya kepada calon legislatif yang memiliki ikatan darah dengan mereka, akan tetapi juga memberi peluang kepada calon legislatif yang tidak memiliki ikatan biologis tetapi memiliki semangat yang sama untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat dan lebih penting lagi adalah menjadi wakil rakyat, bukan tuan atas rakyat.
Pada titik lain, ada ambisi yang kemudian tidak terbendung sehingga mengorbankan orang lain demi kepentingan individu maupun keluarga. Hal tersebut nampak dalam praktik berpolitik calon legislatif di Seira yang mengakibatkan peluang untuk memiliki anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar lebih dari 3 orang justru tidak tercapai akibat dari ambisi dan keserakahan yang muncul karena ingin berkuasa. Pada kenyataannya 26 calon anggota legislatif jika membagikan 6.000.000 sampai 7.000.000 suara, tidak akan mampu memenuhi ketentuan banyaknya jumlah suara untuk menjadi anggota legislatif. Kendatipun demikian, tidak menutup kemungkinan untuk 1-3 anak negeri yang dapat memenuhi ketentuan dimaksud untuk menjadi anggota legislatif di Kepulauan Tanimbar apabila mampu memanajemen semuanya dengan baik.
Sebagai peneliti dan teologi lapis ketiga, penulis bersuara dengan mengutip apa yang dilakukan oleh Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo (2024), dari perspektif iman Kristiani, dalam sejarah selalu ada kerajaan, dan kerajaan itu sama dengan kekuasaan. kekuasaan akan berbahaya kalau tidak dijalankan dengan baik, maka ketika ada institusi kerajaan pada waktu itu raja-raja tidak memerintah dengan baik, muncul yang disebut nabi-nabi. Para nabi akan menyerukan kebenaran dan keadilan. Situasi setiap zaman seperti itu, jadi kalau para akademisi menyerukan seruan moral, itu merupakan tanggungjawab mereka dan ditujukan kepada institusi yang memegang kekuasaan, dinamika seperti ini dalam sejarah selalu ada. Semoga seruan-seruan seperti itu didengarkan, jika tidak didengarkan maka dalam sejarah sudah jelas terbukti bahwa ketika tidak didengarkan kritik-kritik, bahayanya adalah tumbang atau runtuh. Oleh karena itu, kekuasaan dan kritik merupakan dua hal yang harus berjalan bersamaan.
Jika pertarungan yang terjadi menghasilkan kegagalan, maka itu merupakan sebuah pembelajaran dan harus dengan lapang dada mendorong yang telah terpilih untuk menjalankan tugas dan tanggungjawab, sambil terus mengontrol dengan kritikan yang membangun. Sebaliknya, jika memperoleh keberhasilan sebagai anggota DPRD Kabupaten Kepulauan Tanimbar, maka kepemimpinan melalui kekuasaan harus berpihak kepada rakyat dan harus memaknai kekuasaan sebagai hamba atau wakil rakyat untuk menyuarakan kebenaran dan kesejahteraan.
Komentar
Posting Komentar