PENGARUH AGAMA DUNIA DI INDONESIA

"Indonesia menjamin dan memfasilitasi (secara administratif) enam agama yaitu, Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Buddha & Konghucu. Enam agama ini adalah agama-agama dunia di Indonesia. Yang dimaksud adalah agama-agama yang lahir di suatu tempat tertentu dalam lingkungan manusia dan budaya tertentu, dan berhasil dengan caranya sendiri-sendiri mencapai bagian-bagian lain dari dunia. Hal ini menunjukkan bahwa konsekuensi agama-agama dunia tidak bisa menghindari diri dari tarik-menarik di antara nilai-nilai lokal sudah hidup dan mapan dari manusia-manusia yang didatanginya itu, dengan nilai-nilai yang dibawanya" (Titaley, p. 46).

Salah satu agama dunia yang menjadi perhatian penulis adalah agama Kristen Protestan. Bagaimana Kekristenan hadir di Indonesia, khususnya Maluku dengan pengaruhnya terhadap konteks kebudayaan yang ada? Jauh sebelum Kekristenan, sejak abad ke-4, kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah menguasai sebagian wilayah Nusantara yang cukup luas. Kemudian sejak abad ke-9, mulai muncul kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara. Selanjutnya abad ke-16, datanglah Portugis dengan misi Kristen Katolik di Indonesia bagian Timur. Kemudian melalui badan dagang Belanda, VOC sejak awal abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 hadirlah Kristen Protestan, yang selanjutnya diteruskan oleh Indische Kerk (Gereja Hindia Belanda pada abad ke-19 (Ngelow, p. 11-15).

Perbedaan dua agama dunia (Katolik & Protestan) di Maluku adalah pertama, Katolik melalui Portugis yang menguasai perdagangan di beberapa wilayah Maluku pada masanya berupaya untuk mengalihkan masyarakat yang beragama Suku menjadi pemeluk agama Kristen Katolik, namun berusaha untuk tetap menyatu dengan kebudayaan yang ada dan dinilai sejalan dengan Katolik. Kedua, Protestan justru mengikis habis bahasa dan budaya pada daerah-daerah yang pernah disinggahi di Maluku sehingga banyak yang kehilangan bahasa dan budaya. Tindakan yang dilakukan oleh mereka yang beragama Protestan (VOC hingga Indische Kerk) adalah menghindari terjadinya pemberontakan dari masyarakat pribumi kepada pihak kolonial sehingga melengserkan bahasa dan budaya adalah salah satu tindakan untuk mencegah tersebut. Selanjutnya masyarakat pribumi diharuskan memakai bahasa Belanda atau bahaya Melayu agar tetap diketahui oleh orang Belanda dan tetap ada dalam proses penjajahan.

Dalam perkembangannya sejak abad ke-4 hingga abad ke-20 dan mengalami perkembangan sampai saat ini, banyak dari masyarakat yang dahulunya menjadi pemeluk agama suku dan beralih menjadi pemeluk salah satu agama dunia justru dalam praktiknya tidak menyadari bahwa keberadaan agama harusnya mendorong kehidupan para pemeluknya untuk tetap saling berdampingan untuk terus ada dalam mewujudkan kehidupan masyarakat yang berjiwa nasionalis.

Tidak dapat dipungkiri bahwa agama-agama dunia telah menyatu dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai dogma dan ajarannya, akan tetapi kebanyakan pemeluk agama dunia justru berperilaku tidak sejalan dengan ketentuan agamanya sehingga saling menghakimi dan bahkan berdampak pada konflik yang mengakibatkan terjadinya segregasi. Banyak dari masyarakat pemeluk agama-agama dunia justru tidak menuhankan TUHAN, tetapi menuhankan agamanya, sebuah tindakan kekeliruan yang sampai saat ini belum disadari penuh oleh para pemeluk agama-agama dunia bahwa sejatinya agama menjadi jalan untuk saling menghidupkan dan menunjukkan rasa kebhinekaan di tengah-tengah kemajemukan agama-agama dunia tersebut, bukan sebaliknya menjadikan agama dunia sebagai jalan untuk terjadi konflik karena terlalu menuhankan agama.

Manusia di Indonesia harus menyadari bahwa mereka memiliki identitas ganda yaitu primordial dan nasional. Salah satu ciri utama Pra-Indonesia (primordial) adalah munculnya agama-agama dunia di Kepulauan Nusantara dalam wujud penaklukan satu sama lainnya. Sebagaimana datangnya agama Hindu yang diikuti oleh agama Budha, semuanya terjadi karena kekuatan pemerintahan politik yang lebih dominan. Sebagaimana Islam dan Kristen (Katolik dan Protestan) pun dalam pola yang serupa akan tetapi dominan pada perebutan dan penguasaan sumber daya alam dan banyak mempengaruhi agama-agama masyarakat pribumi menjadi hilang. Pada Peristiwa 17 Agustus 1945 dan 18 Agustus 1945 menjadi dua peristiwa yang sangat fundamental dan krusial sebab terwujudnya penyatuan primordial di dalam nasional yang terpatri dalam kehidupan Bangsa Indonesia (Titaley, p. 54).

Menjadi Indonesia adalah menjadi masyarakat yang seharusnya hidup dalam kesadaran sebagai yang memiliki identitas ganda sehingga dapat mempertimbangkan segala sesuatu berdasarkan kesadaran bahwa pada titik identitas primordial (pemeluk salah satu agama dunia) memang berbeda, akan tetapi sebagai masyarakat Indonesia (nasional) harus saling pendampingan untuk saling menghidupkan sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi persatuan di dalam keberagaman.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENG HARI-INI-KAN INJIL KEPADA ANAK-ANAK

HIMPUNAN MAHASISWA DAN PEMUDA LELEMUKU KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR MENG-HARI-INI-KAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

REFLEKSI EMERITUS PROFESOR DAN PENDETA: PDT. (EM.) PROF. (EM.) DR. (H.C.) JOHN A. TITALEY, TH.D.