REKONSILIASI PERGOLAKAN AGRARIA DI PULAU SEIRA DALAM PERSPEKTIF HISTORIS TEOLOGI



Berpikir dan bertindak historis sekaligus teologis adalah sebuah hal yang mesti dipahami sebagai sebuah kesatuan dalam menulis sebuah rangkaian sejarah, berdasarkan pada peristiwa-peristiwa masa lampau yang memilukan serta memengaruhi psikis dan tindakan orang-orang yang mengalami peristiwa-peristiwa tersebut. Tidak kalah penting bahwa bagaimana melihat karya TUHAN dibalik peristiwa-peristiwa yang memilukan itu terjadi.

Peristiwa pergolakan tanah yang terjadi pada konteks masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil, di dalamnya juga terdapat Pulau Seira yang merupakan masyarakat pesisir. Sejatinya menjadi hal yang harus dikuak untuk menunjukkan bagaimana terjadinya peristiwa pergolakan tersebut, tetapi juga upaya rekonsiliasi atas peristiwa tersebut, dengan demikian manjadi karya-karya baik yang mengakar pada realitas masyarakat khususnya Pulau Seira di Kepulauan Tanimbar yang bermula dari konflik agraria menjadi ikatan keluarga yang tidak pernah dipisahkan, sekalipun berbeda desa, agama dan aliran gereja.

Perebutan tanah di Pulau Seira antara masyarakat Sermuri dan Seira, bermula dari datangnya Pastor Eddward Cappres dari Kei pada tahun 1912 dengan tujuan ke Desa Sermuri untuk melayani umat Katolik di sana, namun ia mampir di Seira dan menyamar sebagai tukang kupu-kupu tetapi ditolak. Permulaan konflik terjadi akibat dari penolakan tersebut, padahal sebelumnya sama sekali tidak terjadi apa-apa, justru semuanya dalam situasi yang damai. Tindakan masyarakat Seira, didorong oleh pemerintah Belanda yang berkuasa di Pulau Seira supaya masyarakat Sermuri jangan lagi tinggal di Pulau Seira, sebab mereka beragama Katolik yang merupakan warisan dari Portugis. dalam mempertahankan agar masyarakat Sermuri tetap menetap di Pulau Seira, maka perlawanan terus berlangsung hingga tahun 1914.

Pasca-pergolakan antara masyarakat Seira dan Sermuri, muncul kembali pergolakan baru antara dua desa di Seira, yaitu: Desa Themin dan Rumasalut. Pergolakan yang terjadi di tahun 1932 ini akibat dari klaim kepemilikan tanah dengan menjadikan konflik anak-anak muda sebagai alasan untuk kedua desa saling menyerang. Pergolakan tersebut tidak hanya terjadi antara Desa Themin dan Rumasalut, tetapi melibatkan seluruh desa yang ada di Seira. Desa Themin dan Weratan memiliki kedekatan sehingga saling membantu untuk melawan Desa Rumasalut yang dibantu oleh Desa Welutu dan Kamatubun. Konflik yang terjadi tidak seperti pada umumnya terjadi, konflik tersebut justru terjadi di laut ketika air surut, tetapi ketika air pasang konflik itu dihentikan dan semuanya kembali ke tempat tinggal masing-masing. Hubungan sebagai masyarakat Seira pun berjalan dengan baik, khususnya untuk masyarakat Desa Themin dan Desa Rumasalut. Dalam hal ini, untuk urusan adat dan lain-lain kembali normal, masyarakat Desa Themin bisa ke Desa Rumasalut juga sebaliknya masyarakat Desa Rumasalut bisa ke Desa Themin, meskipun mereka masih ada dalam suasana konflik. Ketika air laut surut konflik kembali berlangsung. Pada saat air pasang semuanya kembali normal. Hal itu terjadi terus-menerus sehingga mulai berdampak tidak baik, dan merusak hubungan kekerabatan dalam kehidupan masyarakat Seira.

Langkah rekonsiliasi terhadap pergolakan agraria di Pulau Seira, dapat dibacakan dengan lengkap pada artikel berjudul: "REKONSILIASI PERGOLAKAN AGRARIA  DI PULAU SEIRA DALAM PERSPEKTIF  HISTORIS TEOLOGI" dalam buku DINAMIKA AGRARIA DALAM PERSPEKTIF TEOLOGI, SOSIAL, HUKUM DAN BUDAYA PADA MASYARAKAT PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL.

Tanah adalah pemberian TUHAN kepada manusia, tanah menjadi kebutuhan dasar manusia sejak lahir sampai meninggal dunia. Karena manusia dan tanah mejadi kesatuan yang tidak terpisahkan, sehingga tanah seringkali menjadi pemicu konflik yang melibatkan individu maupun kolektif, terjadinya konflik karena perebutan dan membuktikan hak kepemilikan atas tanah yang ada pada suatu wilayah tertentu. Dalam konteks perekonomian tanah sebagai aset kekayaan, sedangkan secara sosial tanah menjadi sebuah tempat di mana manusia berkuasa, membangun rumah dan menjalin relasi antar sesama keluarga dan masyarakat pada umumnya. Dalam konteks budaya, tanah menjadi kosmologi untuk mengungkapkan integritas individu maupun kolektif sebagai legalitas dalam menjaga perdamaian. Pada titik lain, tanah juga menjadi sumber kehidupan, tempat tinggal dan identitas diri.

Simbolisasi identitas manusia pada umumnya adalah tanah, sebab dari tanah manusia berasal dan kembali kepada tanah pada waktunya nanti. Sebagai masyarakat yang hidup di Maluku, tanah menjadi sebuah hal yang melekat pada diri (identitas diri). Jika seseorang dengan sengaja menggeser sedikit saja batas tanah orang lain, maka akan terjadi konflik besar-besaran bahkan bisa terjadi pembunuhan, sebab tanah sebagai simbol harkat dan martabat seseorang. Tidak luput dari semua itu tanah juga menjadi simbolisasi kedudukan seseorang atau kelompok, jika individu atau kelompok memiliki banyak tanah maka mereka dapat dikatakan sebagai orang kaya, sebagaimana realitas di Maluku bahwasanya yang memiliki banyak tanah adalah orang atau kelompok yang pertama hadir di tempat tersebut atau pribumi (tuan tanah), tetapi orang atau kelompok yang tidak memiliki tanah maka mereka merupakan orang-orang pendatang yang tidak berhak apapun pada suatu tempat dan hanya mendengar arahan dari pemilik tanah sebagai penguasa.

Tanah menjadi wadah kedaulatan TUHAN melalui leluhur yang menjadi penanggung jawab dan meneruskan pada generasi selanjutnya. Hal itu berkelanjutan dalam perkembangan kehidupan sebagai pelaku sejarah yang tugas utamanya adalah merawat dalam pemanfaatannya untuk kepentingan kolektif dan bukan individu. Tanah sebagai sumber hidup manusia dengan berbagai hal yang dapat diupayakan untuk mencapai kesejahteraan di atas tanah pemberian TUHAN. Tanah selalu dalam posisi yang steril sebagai poros untuk manusia berkarya di atasnya, karena itu tanah sama sekali tidak memberi dampak buruk kepada manusia, hanya saja manusia seringkali salah mengartikan tanggung jawab untuk merawat tanah demi kehidupan dengan mengklaim sebagai pewaris yang berkuasa penuh atas tanah dan dengan semena-mena mengeksploitasi tanah begitu saja. Pada titik lain, yang sangat krusial lagi adalah manusia melakukan konflik di atas sumber kehidupan (tanah) yang sejatinya harus dikelola bersama untuk memenuhi kebutuhan kolektif.

Tanah sebagai sakramentum TUHAN, tidak boleh dikotori oleh manusia dengan darah karena pembunuhan. Dalam kesakralan itu manusia mesti menyadari bahwa tanah menjadi pertanda relasi TUHAN dengan manusia, di mana TUHAN sang pemilik tanah memberikan kepercayaan kepada manusia untuk mengusahakan kehidupannya, kepercayaan TUHAN tidak boleh dikhianati manusia dengan mengklaim bahwa tanah pada suatu tempat milik kepunyaan individu, padahal mereka hanya sebagai penanggungjawab, itu berarti bahwa harus memberikan kesempatan untuk kolektif agar dapat mengusahakan sakramentum TUHAN tersebut demi keberlanjutan hidup bersama.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENG HARI-INI-KAN INJIL KEPADA ANAK-ANAK

HIMPUNAN MAHASISWA DAN PEMUDA LELEMUKU KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR MENG-HARI-INI-KAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

REFLEKSI EMERITUS PROFESOR DAN PENDETA: PDT. (EM.) PROF. (EM.) DR. (H.C.) JOHN A. TITALEY, TH.D.