BERAGAMA DAN BERBANGSA DALAM HARMONI MAKSIMAL KOSMOS NUSANTARA
Gejolak Konteks
Pada mata kuliah "Beragama dan Berkebangsaan dalam Kosmologi Nusantara" saya menulis sebuah paper untuk dipresentasikan sebagai pengantar diskusi, judul dari paper ini adalah "Beragama dan Berbangsa dalam Harmoni Maksimal Kosmos Nusantara". Paper ini lahir dari kegelisahan tentang isu ketidaksadaran manusia yang memiliki identitas ganda, yaitu primordial dan nasional yang apabila salah satunya lebih dominan, maka akan terjadi penyimpangan dalam kehidupan sosial. Sebagaimana juga jika Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai empat pilar berbangsa dan bernegara, maka di manakah dasar dari rumah Indonesia ini? Seharusnya Pancasila sebagai dasar negara, sedangkan UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI sebagai tiga pilar berbangsa dan bernegara yang berdiri kokoh menopang rumah Indonesia di atas fondasi Pancasila.
Selain hal-hal di atas yang melatarbelakangi tulisan singkat ini, akhir-akhir ini struktur dan kultur menjadi gejolak terjadinya kekerasan sosial yang kemudian menunjukkan citra keindonesiaan yang belum berada pada titik negara maju tetapi terus berada pada titik negara berkembang dan terus merasakan kesakitan. Kekuasaan kemudian menjadi sebuah titik bertumpuk politik yang tidak bermuara pada kesejahteraan, namun justru melanggengkan ketidakpastian dan ketidakadilan serta kepentingan kelompok tertentu. Hal ini kian telah menciptakan budaya baru yang benar-benar membuat kehidupan para pemimpin dan kebanyakan masyarakat tidak menyadari Pancasila sebagai kosmologi dasar kehidupan bersama. Pada akhirnya, kesakitan Pancasila kemudian tidak mengkosmos akibat dari ketidaksadaran Pemerintah dan sebagian masyarakat yang terpikat oleh kedudukan dan tidak ingin berusaha menemukan makna dalam ancaman ekonomi yang kian berharap penuh kepada pemerintah.
Dengan bertolak pada gejolak konteks yang terjadi, maka saya menulis beberapa pokok dalam dua sub pokok sebagai titik tempuh melihat dan mencari solusi atas permasalahan yang ada.
Primordial Sebagai Kosmologi Nusantara
Kosmologi menjadi sebuah fundamental untuk menguak asal-usul kejadian, keteraturan, keterlibatan dan harmoni antara bagian-bagian yang terkandung dalam perwujudan alam semesta, hubungan antar bagian tersebut dan peristiwa-peristiwa lain yang berkaitan dengan alam semesta, baik secara langsung maupun tidak langsung (Mataken, Marwani & Watloly, 2023: 9). Dengan demikian, perwujudan kehidupan yang tertata rapih dalam keberagaman agama, suku, ras, golongan dan lainnya yang menjadi sebuah kosmologi Nusantara dengan membentuk identitas masyarakat secara individu maupun kolektif sebagai pilar-pilar kehidupan yang menunjuk pada masing-masing mereka memiliki falsafah yang menjadi bangunan-bangunan hidup berbudaya, beradab dan bermartabat.
Di Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam Sumpah Pemuda, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama, bahasa Indonesia, tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena para pemuda merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian amat penting sebagai sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia (Suseno, 2021: xxv).
Indonesia menjadi negara-bangsa yang baru terbentuk tahun 1945 dan sangat majemuk. Kemajemukan itu nampak dalam kesepakatan luhur para pendiri bangsa dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Dari keberagaman tersebut, membuat masyarakat hidup dalam keharmonisan sebagai suatu bangsa yang tetap ada sampai sekarang, akan tetapi pada titik lain selama 78 tahun mengalami pasang surut hubungan antar sesamanya. Dalam sejarahnya, pada masa Pra-Indonesia masing-masing daerah merupakan sebuah bangsa dengan identitas kesukuan yang memiliki budaya dan agama (agama suku maupun agama dunia), semua itu disebut sebagai identitas primordial. Bangsa-bangsa tersebut independen satu sama lainnya, hanya dipersatukan oleh administrasi kolonial pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian pada 17 Agustus 1945, menjadi sebuah negara-bangsa Indonesia yang disebut sebagai identitas nasional dan baru diakui tahun 1949 (Titaley, 2001: 3-4).
Primordialisme menunjuk pada keberagaman agama suku atau agama leluhur dan agama dunia (Hindu Buddha, Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu) merupakan sebuah harmoni maksimal Nusantara yang menjadi kekhasan keberagaman dengan dibalut oleh berbagai macam budaya sebagai identitas primordial pada individu maupun kolektif masyarakat Nusantara. Kendatipun demikian setiap tradisi beragama selalu bermuka dua, mengandung benih-benih rekonsiliasi dan kekerasan, eksklusif-partikularis dan inklusif-universalis (Latif, 2021: 110-113). Artinya keberagaman agama tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik oleh penganutnya, sehingga banyak propaganda-propaganda politik yang dimainkan untuk semakin menghancurkan kehidupan bersama, sebab kehidupan publik mengalami kekurangan dalam kedalaman makna yang dapat membangkitkan kesetiaan dan komitmen sesama warga. Namun pada titik lain, jika agama dapat direduksi ke dalam batin individu maupun kolektif dengan begitu baik, maka akan terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat yang harmoni dan indah.
Louis Leahy mengatakan bahwa, kosmologi Nusantara cenderung bergelut dalam konteks relasi manusia dengan alam, manusia dengan pencipta dan manusia dengan manusia. Hal ini bersifat abstrak, namun jika dapat dikendalikan dalam praktik kehidupan sosial manusia maka akan menjadi sebuah fondasi metafisik individu maupun kolektif bahkan sebuah bangsa yang besar sehingga menjadi akar yang kokoh dalam suatu bangsa (Ahmad, 2017: 71). Karena primordialisme sehingga dapat mendorong terbentuknya negara-bangsa Indonesia. Dengan demikian, primordialisme dapat dikatakan sebagai sebuah kosmologi Nusantara yang telah menjadi bagian penting di dalam kehidupan individu maupun kolektif masyarakat sehingga kesadaran akan keberagaman tidak memecahbelakan kehidupan bersama, namun justru sebagai sebuah pengikat dalam kemajemukan yang ada.
Nasionalisme Sebagai Kosmologi Nusantara
Jika praktik masyarakat tetap mendominankan identitas primordial di tengah konteks negara-bangsa Indonesia, maka akan terus berdampak konflik akibat dari tidak saling menerima perbedaan antara kelompok satu dan lainnya. Sebaliknya, jika masyarakat telah memuncak pada kesadaran akan indentitas gandanya dengan terus berperan untuk tidak mendominankan salah satu identitas dalam diri individu maupun kelompok, maka kehidupan dalam negara-bangsa Indonesia yang majemuk akan terus mengalami perdamaian dan kesejahteraan akibat dari kesadaran akan keberagaman adalah sebuah hal yang menjadi keunikan Indonesia (Titaley, 2001: 4-5).
Konteks yang dapat dijumpai pada negara-bangsa Indonesia ketika kekuatan kolonialisme Belanda tidak lagi mampu mempertahankan kedudukannya dalam menguasai tanah jajahan Indonesia yang kemudian dapat dimasukkan ke dalam satelit kebudayaan Belanda, maka lahirlah Bhineka Tunggal Ika dari beragam budaya di Nusantara yang kemudian menjadi kebudayaan Indonesia (Ganda, 2023: 206). Agama dan budaya memiliki peran penting dalam penyatuan negara-bangsa Indonesia, dari keduanya masyarakat dapat menciptakan konflik, tetapi dari keduanya pula dapat terjadinya rekonsiliasi perdamaian dan menjaga ketentraman suatu daerah bahkan bangsa. Oleh karena itu, agama dan budaya harus dijadikan sebagai titik kesadaran untuk terus menjaga perdamaian Indonesia dengan simbol Bhineka Tunggal Ika yang mengokohkan pluralitas bangsa.
Dalam bingkai nasionalisme, Pancasila merupakan fundamental (dasar) negara-bangsa Indonesia, kemudian Undang-Undang Dasar 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pilar kebangsaan telah terbukti kedalamannya dalam menentukan eksistensi bangsa Indonesia yang majemuk. Satu dasar bangunan Indonesia dan tiga pilar kebangsaan ini menjadi sebuah landasan yang sangat fundamental untuk menunjukkan sebuah kosmologi yang tertanam dalam batin masyarakat Indonesia dengan selalu meyakini bahwa jika menjalani kewajiban sebagai warna negara yang baik dengan tetap mempraktikkan diktum-diktum dalam dasar dan pilar-pilar kebangsaan, maka akan terciptanya harmonisasi masyarakat yang hidup dengan identitas gandanya sebagai primordial dan nasional.
Komentar
Posting Komentar