MERAH PUTIH INDONESIA: STUDI AGAMA DAN KEBANGSAAN


Menjadi Indonesia

Di Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam sumpah pemuda 28 Oktober 1928, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai suatu bangsa. Karena bangsa-bangsa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat di Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama, bahasa Indonesia, tidak tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena para pemuda sudah merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian sangat penting sebagai sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia (Suseno, 2021: xxv).

Berdasarkan sejarahnya, sejak awal pembahasan kemerdekaan Indonesia yang memuncak pada proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, ada beberapa peristiwa yang perlu diketahui untuk mengetuk kesadaran bersama bahwa begitu kokohnya para pejuang kemerdekaan bangsa ini ingin menjadi mandiri dan bukan karena pemberian dari negara manapun. Sebagaimana diketahui bahwa teks proklamasi kemerdekaan Indonesia yang pendek itu adalah teks pengganti naskah penyataan kemerdekaan yang telah diperoleh oleh Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dengan judul Pernyataan Indonesia Merdeka (Risalah Sidang BPUPKI, 1995: 235-248). Direncanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia akan terjadi seminggu sesudah tanggal 12 Agustus 1945, setelah Soekarno dan Hatta menemui Marsekal Terauchi di Dapat (dekat Saigon) untuk memberitahukan pemerintah Jepang bahwa Indonesia telah siap untuk dimerdekakan (Yasni, 1978: 130). Sebelum terjadi berdasarkan yang direncanakan bahwa Indonesia merdeka karena pemberian Jepang, para pemuda telah mengetahui bahwa Hiroshima dan Nagasaki telah hancur ditangan tentara Sekutu pada 6 Agustus 1945, yang menewaskan ribuan orang dan seluruh perlengkapan persenjataan Jepang pun turut hancur. Hal itu menyebabkan pemerintah Jepang  kepada tentara Sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945,  maka atas desakan para pemuda proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia terjadi pada tanggal 17 Agustus 1945 (Titaley, 2001: 26).

Pada titik lain, proses Pembukaan UUD 1945 merupakan sebuah kenyataan yang patut dilihat pada pembukaan alinea ketiga khususnya tentang "Atas Berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa" diganti menjadi "Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa". Bergantinya kata Allah dengan kata Tuhan karena usulan dari I Gusti Ketut Pudja  (beragama Hindu) sebagai salah satu anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 sehari sesudah Indonesia merdeka. Usulan tersebut diterima oleh seluruh anggota PPKI. Jika menggunakan kata Allah, maka itu hanya ada pada agama Islam, Kristen dan Katolik sedangkan agama Hindu, Buddha dan Konghucu tidak memakai kata Allah (Titaley, 2001: 25-26; 2013: 31).

Bangsa Indonesia yang baru terbentuk tahun 1945 sebagai bangsa dan negara yang merdeka dan menyebut Tuhan yang Maha Kuasa karena kata Tuhan adalah kata buatan yang berasal dari Tuan. Karena sulit membedakan antara Tuan insani dan Tuan Ilahi, maka disisipkan huruf h menjadi "Tuhan". Jadi, kata Tuhan adalah khas Indonesia, tidak berasal dari nama salah satu agama dunia. Nama itu khas Indonesia, dari bahasa Melayu (Titaley, 2019: 7). 

Dengan demikian, dalam historiografi di atas dapat menunjukkan begitu uletnya para pendiri bangsa memperjuangkan kemerdekaan dan tentunya ingin untuk mewariskan kepada anak dan cucu bahkan generasi penerus bangsa ini agar terus menatap sejarah masa lalu sebagai sebuah spirit untuk terus mempertahankan keutuhan dan kesatuan Bangsa Indonesia ini.

Kitab Suci Indonesia 

Pada era revolusi digital (5.0) ini, masih banyak sekali persoalan kemanusiaan dan semakin kompleks. Ironisnya, ilmu pengetahuan dalam konteks digital hasil ciptaan manusia justru tidak membuat manusia menjadi tuan atas kecerdasan buatan itu, namun sebaliknya menjadi hamba atas kecerdasan atas hasil buatan manusia sendiri. Akhirnya yang diharapkan dari ilmu pengetahuan pada revolusi digital adalah solusi atas masalah hidup, namun sebaliknya justru memberi dampak terhadap persoalan-persoalan humanisme.

Dehumanisasi menjadi hal yang sangat fundamental karena kekuatan kekuasaan yang disalahgunakan untuk tujuan kemaslahatan justru membumihanguskan humanisasi. Karena itu, dalam kesatuan dan kesadaran para pendiri bangsa Indonesia di Nusantara justru merumuskan 4 hal penting dalam mempertahankan keutuhan Negara Indonesia. Empat hal itu dirumuskan dalam waktu yang berbeda dengan tujuan yang sama untuk kemanusiaan. Penulis menggunakan 1 dasar dan 3 pilar berbangsa itu sebagai kitab suci Indonesia.

Manusia sebagai ciptaan yang bersentuhan dengan berbagai macam peluang dan ancaman dalam kehidupan. Peran individu maupun kolektif pada suatu tempat akan turut memengaruhi seluruh kehidupan berbangsa apabila tidak melihat sejarah kehidupan berbangsa yang didirikan oleh para pejuang dalam sebuah konsep demokrasi. Satu dasar empat pilar kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi titik penting untuk kehidupan manusia Indonesia bermuara, yaitu: 

  1. Pancasila (dasar bangunan Indonesia)
  2. Undang-Undang Dasar 1945 (pilar bangunan Indonesia)
  3. Bhinneka Tunggal Ika  (pilar bangunan Indonesia)
  4. Negara Kesatuan Republik Indonesia (pilar bangunan Indonesia)
Jika 1 dasar dan 3 pilar tersebut tidak dijunjung dengan kokoh, maka bangunan Indonesia yang sementara mengalami goncangan ini kapan saja dapat menjadi runtuh. Para arsitektur dengan berbagai keberagaman telah meletakkan dasar bangunan yang diberi nama Indonesia untuk menyatukan keberagaman dari kehidupan di masa lalu, masa kini maupun masa yang akan datang. Empat pilar berbangsa dan bernegara ada wahyu dari Ilahi dan menjadi kitab suci Indonesia, akan tetapi jika kesadaran dan kesungguhan tidak mengamini 1 dasar dan 3 pilar tersebut, maka kehidupan berbangsa dan bernegara akan berada pada situasi yang terlunta-lunta.

Danau-danau kehidupan dari Sabang sampai Merauke menggambarkan kebeningan air kearifan masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat, mengancam ketahanan eksistensi kebudayaan. Tentu hal ini merisaukan kerena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara tidak bisa diikat menjadi satu lidi yang kuat, melainkan sekadar serpihan-serpihan lidi yang berserakan, mudah patah (Latif, 2021: xix). Bhineka Tunggal Ika menjadi tenunan nasionalisme yang memiliki banyak corak primordial, namun politik melalui orang-orang yang mengutamakan keluarga, golongan, ras, agama dan lainnya tidak mengedepankan etika berpolitik yang muaranya adalah berpihak kepada kebenaran dan mensejahterakan rakyat.

Menjadi sebuah negara bangsa yang kokoh membutuhkan pola dan peraturan untuk mengatur serta mengikat sehingga segala hal yang dipraktikkan oleh manusia dalam suatu bangsa tidak menyeleweng pada ketetapan yang telah dirumuskan sebelum berdiri, hingga berdirinya dan sesudah berdirinya suatu bangsa. Khususnya negara bangsa Indonesia.

Pancasila Sebagai Agama Sipil 

Cara yang paling positif untuk memperlakukan institusi sosial yang disebut agama adalah dengan menggunakan definisi agama yang fungsional bahwa agama sekurang-kurangnya memiliki 4 C, yaitu creed, code, cult dan community (Swiddler & Mojzes, 2000: 7-8). Pertama, Creed adalah pengakuan yang diyakini bahwa ada sesuatu yang disebut Yang Mutlak itu yang berpengaruh atas kehidupan manusia. Karena misteriusnya Yang Mutlak itu sehingga dapat dibedakan antara yang disebut theos, dan yang non-theos. Theos dari Bahasa Yunani menunjuk pada suatu ilah, dewa, yang disebut TUHAN, atau Allah atau siapa saja. Sedangkan yang non-theos, bisa berarti bukan ilah, tetapi berupa gagasan, kekuatan, atau siapa saja. Kedua, Code adalah seperangkat tindakan yang bersumber pada keyakinan dalam creed tadi, seperti yang harus membuat kebijakan dan lainnya. Ketiga, Cult merupakan ritus dan upacara yang dalam hubungan dengan creed tadi sebagai cara untuk menyelaraskan diri dengan isi creed tadi, baik berupa memahami kehendakNya atau memperbaiki hubungan yang rusak denganNya supaya mendapat ganjaran dan sebagainya. Keempat, Community bertolak pada umat yang bersama-sama memiliki creed, code dan cult yang sama (Titaley, 2013: 84).

Secara sederhana ada 4 C sebagai dasar pengakuan agama, yaitu:

  1. Creed (Kepercayaan yang mutlak)
  2. Code (Tindakan berdasarkan kepercayaan)
  3. Cult (Ibadah berhubungan dengan kepercayaan)
  4. Community (Komunitas kepercayaan itu)
Pancasila dan Indonesia ibarat satu mata uang dengan dua sisi. Kedua sisinya tak bisa dipisahkan. Pemisahan hanya akan mengakibatkan tidak bermaknanya Pancasila dan Indonesia itu sendiri. Pancasila, dalam hal ini, adalah realitas ideal dari suatu kondisi material yang terdiri dari berbagai suku-bangsa dengan keragaman sosial budayanya, yang bernama Indonesia. Dari sudut pemahaman seperti ini, maka Pancasila dapat dilihat sebagai puncak konsensus manusia Indonesia (Titaley, 2013: 44). Pancasila menjadi fundamentalis dalam kesadaran kolektif, hal tersebut tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang diputuskan dalam sidang BPUPKI pada 16 Juli 1945 hingga memuncak pada 18 Agustus 1945 dalam persidangan yang sama (BPUPKI dan PPKI). 

Dogma agama sipil adalah toleransi, jika terjadi intoleransi maka itu melanggar dogma agama sipil. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya sebagai sebuah fundamentalis masyarakat, bangsa dan negara, tetapi juga agama sehingga agama harus inklusif dan bukan eksklusif. Agama-agama seharusnya mengembangkan agama sipil. Dengan beragam penyebutan nama Ilahi, karena itu yang Ilahi itu harus dipahami sebagai yang inklusif, sebab jika eksklusif penganutnya seperti hidup di rimba dengan memakai hukum rimba sehingga mengkafirkan yang lain.

Dalam bereligiositas Pancasila dan warga negara Indonesia patut mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa, sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan solidaritas kebangsaan, merawat, serta menyelamatkan Indonesia dalam mewujudkan kehendak umumnya, yaitu Indonesia raya yang menyejahterakan. Sebagai agama sipil Indonesia, Pancasila adalah agama sejati dana agama bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menjadi jalan kehidupan bersama yang menuntun dan menuntut Indonesia menuju kesejahteraan bersama (Priana, 2019: 28-51).

Jika dalam konteks modern dengan era revolusi digital yang berdampak pada Indonesia, Pancasila menjadi poros utama manusia Indonesia untuk memuarakan kata dan tindakan agar terciptanya Indonesia raya yang berkeadilan dan sejahtera. Digitalisasi memuat berbagai peluang yang kemudian salah digunakan oleh masyarakat sehingga terkikis kesadaran atas Pancasila sebagai poros perilaku bermasyarakat. Dengan demikian, menjaga peradaban bersama sebagai Indonesia yang mempertahankan kesaktian Pancasila sebagai sebuah kosmologi yang mengkosmos dalam batin dan tindakan manusia Indonesia di manapun berada.

Selanjutnya dengan kesadaran Pancasila, dapat mengokohkan etika bermasyarakat untuk selalu menjaga keutuhan sebagai Indonesia yang berhamparan  luas dengan primordial yang mewujudkan nasionalisme Indonesia di dalam Pancasila.

Etika Ber-Pancasila 

Prof. Dr. Franz Magnis Suseno SJ sebagai ahli Etika dan Filsafat dalam Sidang Sengketa Pilpres 2024, di ruang persidangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia pada hari Selasa, 2 April 2024. Mengemukakan 7 catatan tentang etika, yaitu:

  1. Etika, dengan etika dimaksud ajaran dan keyakinan tentang baik dan tidak baik sebagai kualitas manusia, sebagai manusia. Etika membedakan manusia dari binatang, binatang hanya mengikuti naluri-naluri alamiah tetapi manusia sadar bahwa naluriah hanya boleh diikuti apabila baik dan bukan tidak baik. Apakah seseorang itu baik atau buruk? Diukur dari apakah ia hidup secara etis atau tidak.
  2. Hukum, tuntutan-tuntutan paling dasar etika sejak ribuan tahun dituangkan manusia dalam ketentuan-ketentuan hukum, misalnya larangan untuk menyiksa orang lain. Jadi, tidak memperhatikan hukum yang berlaku, dengan sendirinya merupakan pelanggaran etika (tidak masuk masalah konsensus objektor).
  3. Etika dan Hukum, agar manusia baik secara etis, cukup dengan tidak melanggar hukum. Etika menuntut lebih, yaitu agar manusia selalu, juga apabila tidak ada ketentuan hukum, harus berbaik hati, jujur, bersedia memaafkan, adil, bertanggungjawab dan seterusnya.
  4. Etika dan Penguasa, apalagi itu berlaku bagi seorang penguasa misalnya seorang presiden, tak cukup agar ia tidak melanggar hukum, dari seorang presiden dituntut lebih, presiden begitu berkuasa ia bisa memberi perintah menentukan keselamatan dan kegagalan, hidup dan mati seseorang, agar kita mempercayakan diri ke tangan orang yang begitu berkuasa, agar kita merasa aman dengan dia. Seorang presiden harus membuktikan sebagai orang yang baik, berwawasan kebangsaan, bijaksana, jujur dan adil. Dari seorang penguasa tertinggi, dituntut standar etika yang tinggi.
  5. Etika dan Presiden, presiden adalah pengusaha atas seluruh masyarakat. Oleh karena itu, ada hal yang khusus yang dituntut daripadanya dari sudut etika. Pertama, ia harus menunjukkan kesadaran bahwa yang menjadi tanggungjawabnya adalah keselamatan seluruh bangsa. Segala kesan bahwa ia misalnya memakai kekuasaannya demi keuntungannya sendiri atau demi keuntungan keluarganya adalah fatal, maka seorang presiden harus menjadi milik semua, bukan hanya misalnya milik mereka yang memilihnya. Kalaupun ia misalnya berasal dari satu partai, begitu ia menjadi presiden segenap tindakannya harus demi keselamatan semua. Memakai kekuasaan untuk menguntungkan pihak-pihak tertentu membuat presiden menjadi mirip dengan pimpinan organisasi mafia. Di sini dapat diingatkan bahwa wawasan etis presiden Indonesia dirumuskan dengan bagus di dalam pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
  6. Etika dan Pemilu, yang sekurang-kurangnya dituntut dari suatu pemilu secara etis dan tentu juga secara hukum adalah agar seluruh prosesnya, persiapannya, pelaksanaannya, serta pemastian hasilnya menjadi bahwa setiap warga dapat memilih apa yang mau dipilihnya, serta bahwa hasil pemilu memang persis apa yang dipilih oleh para pemilihnya sendiri.
  7. Kegawatan Pelanggaran Etika, filsuf Immanuel Kant memperlihatkan bahwa masyarakat akan mentaati pemerintah dengan senang apabila pemerintah bertindak atas dasar hukum yang berlaku, dan hukum yang berlaku adalah adil dan bijaksana. Apabila penguasa bertindak tidak atas dasar hukum, dan tidak demi kepentingan seluruh masyarakat, melainkan memakai kuasanya untuk mengungkapkan kelompok, kawan dan keluarganya sendiri, motivasi masyarakat untuk menaati hukum akan hilang, akibatnya hidup dalam masyarakat tidak lagi aman. Negeri hukum akan merosot menjadi negara kekuasaan dan mirip dengan wilayah kekuasaan sebuah mafia.
Etika akan benar-benar terwujud apabila Pancasila tidak mengawang dalam cakrawala masyarakat, namun tertulis rapih di dalam lembar batin manusia sehingga terwujudnya merah putih yang sungguh-sungguh menjadi identitas Indonesia sebab merah melambangkan primordial (budaya, agama suku/leluhur maupun agama dunia) dan putih melambangkan nasional (negara-bangsa Indonesia). Ketika menjadi Indonesia, maka secara tidak sadar seluruh masyarakat telah memeluk agama sipil (Pancasila). Sebab dari primordial maka terbentuk nasional dengan sebutan penyatuan dalam Bhineka Tunggal Ika. 

Daftar Pustaka 

Bahar, Saafroedin., Ananda B. Kusuma & Nannie Hudawati. (1995). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) 28 Mei 1945 - 22 Agustus 1945, dengan Kata Pengantar oleh Taufik Abdullah. Jakarta: Sekretariat Negara R.I.

Latif, Yudi. (2021). Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Akuntabilitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia.

Leonard, Swiddler & Paul Mojzes. (2000). The Study of Religion in an Age of Global Dialogue. Philadelphia: Template University Press.

Priana, I Made. (2019. Pancasila Sebagai Misi Gereja. Dalam Siswanto, Tetra Adi, dkk (ed.). Moziak Moderasi Beragama: Dalam Perspektif Kristen.

Suseno, Franz Magnis. (2021). Prolog: Tambang Emas Bagi Yang Ingin Mengerti Indonesia. Dalam Latif Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Akuntabilitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia.

Titaley, John A. (2001). Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual. Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Press.

.................................... (2013). Religiusitas di Alinea Ketiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-agama. Salatiga: Satya Wacana Press.

.................................... (2019). Antara Tuntutan Agama dan Rasa Kemanusiaan Indonesia. Dalam Siswanto, Tetra Adi, dkk (ed.). Moziak Moderasi Beragama: Dalam Perspektif Kristen.

Yasni, Z. (1978). Bung Hatta Menjawab. Jakarta: Gunung Agung.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENG HARI-INI-KAN INJIL KEPADA ANAK-ANAK

HIMPUNAN MAHASISWA DAN PEMUDA LELEMUKU KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR MENG-HARI-INI-KAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

REFLEKSI EMERITUS PROFESOR DAN PENDETA: PDT. (EM.) PROF. (EM.) DR. (H.C.) JOHN A. TITALEY, TH.D.