LATUPATI ATAU DAWAN ADAT? SEBUAH TELAAH KEARIFAN LOKAL, BAHASA TANIMBAR TERHADAP PENGGUNAAN KATA LATUPATI UNTUK PEMANGKU/TUA ADAT DI TANIMBAR
Perdebatan tentang nama Latupati atau Dawan Adat yang lebih tepat kepada para pemangku adat di Tanimbar sudah sejak lama dipersoalkan, namun di Tanimbar hingga saat ini tetap menggunakan kata Latupati yang kian kembali diperdebatkan oleh generasi muda Tanimbar untuk mempertegas tentang keberadaan eksistensi Tanimbar dengan kekhasan bahasanya. Dengan adanya perbedaan, maka tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana seharusnya kesadaran masyarakat Tanimbar tentang ketanimbarannya.
Telah diterbitkan kajian-kajian terdahulu tentang alasan yang fundamental dalam penetapan kata Latupati untuk menggantikan Dawan Adat di Kepulauan Tanimbar. Di luar dari kajian-kajian terdahulu yang khususnya menggantikan istilah Dawan Adat, Dawan Adat merupakan bahasa Seira, Larat dan Fordata yang memiliki arti pembesar, tokoh atau tua adat. Penulis membuat telaah khusus tentang hal-hal yang sudah lebih dahulu dipikirkan oleh masyarakat Tanimbar lainnya tentang ketidaksesuaian penggunaan kata Latupati untuk menggantikan Dawan Adat di Kepulauan Tanimbar.
Pada kuliah "Relasi Agama, Kepercayaan dan Keberagaman Sistem Nilai Budaya", di Program Studi Doktor Teologi dengan Konsentrasi Agama dan Kebangsaan UKIM yang diampuh oleh Prof. Dr. M. Huliselan, DEA. Yang berlangsung pada hari Sabtu, 4 Mei 2024 melalui zoom, Huliselan menjelaskan tentang istilah Latupati yang terdiri dari 2 suku kata yaitu, Latu dan Pati. Latu adalah raja yang merupakan sebutan masyarakat Maluku Tengah kepada pemimpin negeri adat mereka. Sedangkan Pati adalah bahasa Sang Sekerta yang ditujukan kepada raja-raja Majapahit. Karena itu, Latupati adalah raja yang kini sering disebut Upulatu di Pulau Seram, Lease, dll.
Jika bertolak pada pikiran Huliselan di atas dengan melihat penyebutan Latupati kepada Dawan Adat (tokoh/tua adat) di Tanimbar, maka sangat tidak relevan dalam konteks Ketanimbaran. Hal yang fundamental dari ungkapan penulis terhadap tidak relevansinya kata Latupati yang menggantikan Dawan Adat adalah terjadinya pengadopsian kata yang sejatinya bukan merupakan bahasa asli Tanimbar, justru Dawan Adat yang paling relevan dengan kekuasaannya untuk duduk di forum tertinggi yaitu, Temar Lolan dalam memutuskan peraturan-peraturan adat yang mengikat dan sakral di Tanimbar.
Leu Maiseka (2024) mengungkapkan, penggunaan sebutan Latupati baru dipergunakan pada zaman pemerintahan Bupati S. J. Oratmangun dan Wakil Bupati Lukas Uwuratuw di Kabupaten Maluku Tenggara Barat (kini telah manjadi Kabupaten Kepulauan Tanimbar). Bahwa, sebutan Latupati dikenakan kepada para pemangku adat Tanimbar dalam menjalankan fungsinya dan bahkan untuk sebuah ritus Temar Lolan pada setiap wilayah di seluruh kecamatan. Dengan demikian, ungkapan Latupati yang dalam tinjauan aslinya di Maluku Tengah yang kekhususannya hanya kepada seorang raja, tidak relevan untuk menggantikan ungkapan Dawan Adat di Tanimbar.
Maiseka (2024) juga mengatakan bahwa, banyak pemimpin di Bumi Duan Lolat (Kepulauan Tanimbar) bersentuhan langsung dengan kebudayaan Maluku Tengah dll serta banyak juga pemimpin Tanimbar yang berasal dari Ambon dan sekitarnya sehingga menetapkan istilah Latupati di Tanimbar. Memang tentang pemaknaan di Tanimbar oleh kebanyakan orang tentang Latupati dan Dawan Adat hanya memiliki istilah yang berbeda, namun memiliki peran yang sama. Kendatipun demikian, jika istilah dari luar terus dipertahankan di Bumi Duan Lolat, maka akan menggeser kearifan lokal Tanimbar.
Sebagian masyarakat Tanimbar berpikir juga tentang tidak salah kalau kata Latupati dipergunakan di Tanimbar, sebab Tanimbar merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Maluku. Akan tetapi, setiap daerah di Maluku memiliki pranata adat dan bahasanya tersendiri, hal itu berarti disetiap daerah yang ada di Provinsi Maluku harus mempertahankan kearifan lokalnya dan salah satunya adalah bahasa sebagai identitas primordial yang positif dari daerah tersebut. Jika tetap mengakar pada istilah atau ungkapan pada suatu daerah yang bertolak pada kearifan lokalnya, maka hal itu akan mengkosmos dan dikenal seluruh dunia sebab memiliki dampak positif dan lahir dari batin luhur para Leluhur yang digali pada sebuah daerah dengan konteks budaya, sosial, politik, ekonomi dan lainnya pada masa lampau yang diwariskan hingga saat ini. Namun, jika sebuah tempat meminjam istilah dari tempat lain, maka kemungkinan besar pada masa lampau tempat tersebut pernah dijajah oleh kolonial Belanda sehingga budaya dan bahasanya hilang. Atau jika tidak demikian, maka tempat tersebut tidak mampu mempertahankan kearifan lokalnya, dalam hal ini bahasa yang merupakan bagian penting dari identitas diri dan daerahnya.
Komentar
Posting Komentar