MERENTANG SEJARAH, MEMAKNAI PANTJA SILA (PANCASILA), MENUJU INDONESIA EMAS 2045
Meditasi dan Kontemplasi Soekarno dalam Menggali Pantja Sila
Pada malam menjelang 1 Juni 1945, Soekarno bertafakur, menjelajahi lapis demi lapis lintasan sejarah bangsa, menangkap semangat yang bergelora dalam jiwa rakyat, dan akhirnya menengadahkan tangan meminta petunjuk kepada Tuhan agar diberi jawaban yang tepat atas pernyataan tentang dasar negara yang hendak dipergunakan untuk meletakkan Negara Indonesia merdeka di atasnya. Selengkapnya Soekarno menuturkan sebagai berikut:
Tengah-tengah malam yang keesokan harinya saya akan diharuskan mengucapkan pidato giliran saya, saya keluar dari rumah Pegangsaan Timur 56. Saya keluar di malam yang sunyi itu dan saya menengadahkan wajah saya ke langit, dan saya melihat bintang gemerlapan, ratusan, ribuan, bahkan puluhan ribu. Dan di sinilah saya merasa kecilnya manusia, di situlah saya merasa dhaifnya aku ini, di situlah aku merasa pertanggungan-jawab yang amat berat dan besar yang diletakkan di atas pundak saya, oleh karena keesokan harinya saya harus mengemukakan usul saya tentang hal dasar apa Negara Indonesia Merdeka harus memakai.
Pada saat itu dengan segenap kerendahan budi saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa: "Ya Allah, ya Rabbi, berikanlah petunjuk padaku. Berikanlah petunjuk kepadaku apa yang esok pagi akan kukatakan, sebab Engkaulah ya Tuhan-ku, mengerti apa yang ditanyakan kepadaku oleh ketua Dokuritsu Zyunbi Tyooakai itu bukan barang yang remeh, yaitu dasar daripada Indonesia Merdeka. Dasar daripada satu negara yang telah diperjoangkan oleh seluruh Rakyat Indonesia berpuluh-puluh tahun dengan segenap penderitaannya, yang penderitaan itu aku sendiri telah melihatnya. Dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang menjadi salah satu unsur daripada Amanat Penderitaan Rakyat. Aman Penderitaan Rakyat. Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan Negara Indonesia yang merdeka itu. Akun melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia-punya harta-benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: 'Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjoangan kita ini'. Ya Tuhan, ya Allah, ya Rabbi, berilah petunjuk kepadaku, sebab besok pagi aku harus memberi jawaban atas pernyataan yang maha penting ini.
Saudara-saudara, setelah aku mengucapkan doa kepada Tuhan ini, saya merasa mendapat petunjuk. Saya merasa mendapat Ilham. Ilham yang berkata: Galilah apa yang hendak engkau jawabkan itu dari bumi Indonesia sendiri. Maka malam itu aku menggali, menggali di dalam ingatanku, menggali di dalam ciptaku, menggali di dalam khayalku, apa yang terpendam di dalam bumi Indonesia ini, agar supaya sebagai hasil dari panggilan itu dapat dipakainya sebagai dasar daripada Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (Soekarno, 1964: 6-8).
Pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 menjadi fundamentalis untuk berdirinya Negara-Bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945. Bung Karno menggali 5 prinsip yang menjadi titik persetujuan segenap elemen bangsa meliputi:
- Kebangsaan Indonesia
- Internasionalisme, atau Perikemanusiaan
- Mufakat atau Demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan yang Berkebudayaan
- Ketuhanan Yang Maha Esa
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Berikut adalah pernyataan penting Bung Karno tentang Pancasila sebagai dasar falsafah NKRI.
Tetapi kecuali Pancasila adalah suatu Weltanschauung satu dasar falsafah, Pancasila adalah suatu alat pemersatu, yang saya yakini seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke hanyalah dapat bersatupadu di atas dasar Pancasila itu. Dan bukan saja alat pemersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakikatnya satu alat pemersatu dalam perjoangan kita melawan penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara perjoangannya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara perjoangan sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya, bangsa sebagai individu mempunyai keperibadian sendiri. Keperibadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya (Soekarno, 1958).
Pancasila Menenun Indonesia Emas
Bertolak dari konteks historis lahirnya Pancasila dari Bung Karno sebagai penggalinya, akankah masih mampu dipertahankan sepenuhnya dalam tindakan keberagaman manusia Indonesia dengan tingginya primordialisme negatif dari ketidaksadaran untuk terlalu memprioritaskan agama, suku, golongan, ras dan lainnya, serta dalam revolusi digital (5.0) sangat memengaruhi batin kelompok masyarakat Indonesia khususnya para kaum muda dengan kepiawaian digitalisasi yang mengakibatkan kesadaran tentang pentingnya berperilaku Pancasila adalah hal utama yang seharusnya menjadi hal mendasar dalam perilaku berbangsa.
Budaya Pop juga semakin meringkus kesadaran masyarakat untuk mengontrol kehidupan berbangsa dalam berperilaku sebagai manusia yang berperadaban Pancasila menjadi semakin terkikis. Kenyataannya dengan digitalisasi, bermedia sosial semakin mendorong sebagian besar rakyat Indonesia untuk mengagamakan semua hal. Pilihan-pilihan politik harus mempertanyakan latar belakang agama, pemain sepak bola dipertanyakan latar belakang agama, bahkan pernikahan artis pun juga dipertanyakan latar belakang agama. Seolah-olah semua hal harus diagamakan dengan cara bermedia sosial.
Menuju Indonesia emas, seharusnya semakin menyadari masyarakat di kalangan akar rumput hingga para elit untuk bergama dan berketuhanan yang berkebudayaan, sehingga munculnya kesetaraan dan kesejahteraan dalam berbagai aspek. Rajutan kebangsaan menuju Indonesia emas, harus benar-benar menjadi tindakan berjalan bersama dari para elit maupun akar rumput, sehingga tidak terlihat terjadi penyimpangan untuk hanya mensejahterakan kelompok elit dan semakin menekan masyarakat akar rumput.
"Pancasila Jiwa Pemersatu Bangsa Menuju Indonesia Emas Tahun 2045" adalah tema perayaan Kesaktian Pancasila pada tahun 2024. Dalam imajinasi sebagai masyarakat di kalangan akar rumput berpengharapan pada sebuah keputusan dan ketetapan seluruh program dan kebijakan program di Indonesia harus menjawab kebutuhan masyarakat kecil tetapi juga membawa Indonesia menuju negara maju. Akan tetapi, jika tema tahun ini hanya bersifat gagasan tanpa sebuah tindakan yang sejatinya berpihak pada rakyat kecil untuk sebuah kesejahteraan, maka ibarat Negara-Bangsa Indonesia hanya hidup dalam kata dan tulisan, tetapi mati dalam tindakan yang nyata.
Secara sederhana, Pancasila sebagai dasar dan falsafah Indonesia yang telah mengkosmos dan mewaktu, harusnya bukan hanya hidup dalam kata dan tindakan manusia Indonesia ketika lahirnya Pantja Sila. Namum, harusnya tertanam dalam seluruh batin manusia Indonesia dari berbagai generasi sehingga menjadi arahan penuh untuk menentukan langkah Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.
Pancasila Sebagai Agama Sipil
Daftar Pustaka
Soekarno. (1964). 19 Tahun Lahirnja Pantja Sila. Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Komentar
Posting Komentar