PANCASILA SEBAGAI AGAMA SIPIL DI NEGARA-BANGSA INDONESIA
Pada bagian ini saya menulis khusus dalam rangka Pemberian Penghargaan Kehormatan Profesor Emeritus di Universitas Kristen Indonesia Maluku kepada Prof. Dr. (H. C.) John A. Titaley, Th.D. Sebagai salah satu murid Prof. Dr. (H. C.) John A. Titaley, Th.D. (selanjutnya akan disebut Prof. JT) di Program Studi Doktor Teologi dengan Konsentrasi Agama dan Kebangsaan, Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia Maluku. Prof. JT. Pernah berkata dalam kuliah Pancasila Sebagai Agama Sipil yang diampuhnya, bahwa dahulu dia bercita-cita untuk mendalami pikiran Prof. Robert N. Bellah, Ph.D. Akhirnya keinginannya itu terpenuhi ketika melanjutkan studi Doktornya di Graduate Theological Unio (GTU), Berkley, USA dan San Francisco Theological Seminary (SFTS), San Anselmo, USA dalam bidang Inter-Area Studies (Perjanjian Lama dan Agama dan Masyarakat), dan berhasil menyelesaikan studi Doktornya dengan judul Disertasi: "Pancasila as National Ideology of the Republic of Indonesia in the Light of Royal Ideology in the Davidic state." Prof. JT. Dibimbing oleh: Prof. Clare B. Fischer, Ph.D., Prof. Robert N. Bellah, Ph.D., Prof. Marvin L. Chaney, Ph.D., Rev. Frank Cooley, Ph.D.
Pada tahun 2001, Prof. JT. Diteguhkan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Teologi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. Judul Pidato Pengukuhannya: "Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual." Prof. JT. Mengabdikan dirinya sebagai Guru Besar di UKSW sejak tahun 2001-2018, kemudian dipindahkan untuk menjadi Guru Besar Ilmu Teologi, di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku-Ambon dari tahun 2018 hingga sekarang ini dan menerima Penghargaan Kehormatan Profesor Emeritus di UKIM-Ambon. Dalam rangka Emeritasi Profesornya, Prof. JT menyampaikan Orasi Ilmiah dengan judul: "Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual: Post-Scriptum."
Atas semua dedikasi dan pelayanan baik mantan Rektor UKSW ini, saya menulis untuk terus mengenang buah karya baiknya di dalam batin dan praksis degan memberi judul tulisan ini, "Pancasila Sebagai Agama Sipil di Negara-Bangsa Indonesia." Tujuannya untuk menegaskan tentang posisi Pancasila Sebagai Agama Sipil di tengah bangsa-bangsa yang berada Nusantara sebagai titik primordial yang kemudian menjadi Republik Indonesia hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam titik Nasional. Selanjutnya akan dilihat ulasannya pada tulisan ini.
Keberagaman
Masa Lalu Menuju Indonesia yang Pancasilais
Nusantara merupakan tempat yang
memilliki keberagaman budaya dan agama suku/leluhur, serta sumber daya alam
yang melimpah sehingga menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa untuk datang dan
dengan cara paksa mengambil SDA di Nusantara. Sejak abad ke-4 , sudah ada
kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha, termasuk Sriwijaya dan Majapahit yang cukup
lama menguasai sebagian wilayah Nusantara. Kemudian di abad ke-9, mulai muncul
kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara. Namun, sejak pertengahan abad
ke-7 sampai abad ke-16, Portugis telah datang ke Indonesia dan lebih condong ke
Indonesia bagian Timur untuk mengambil sumber daya alam, tetapi juga
menyebarkan agamanya. Hal itu juga menarik perhatian pemerintah colonial
Belanda untuk datang ke Nusantara sejak akhir abad-16 hingga abad ke-19 dan
memiliki tujuan yang sama dengan Portugis.[1]
Sudah sejak awal daerah-daerah atau
bangsa-bangsa di Nusantara memiliki keunikan budaya dan agama leluhur/suku yang
dianut, namun kemudian ada budaya-budaya dan agama-agama tertentu dianggap
kafir. Pada bagian ini, penulis melihat secara khusus mengenai penjajahan pada
zaman pemerintah kolonial Belanda. Sejak awal abad ke-16 melalui badan dagang
Belanda (VOC) hingga akhir abad ke-17 yang kemudian dilanjutkan oleh Indische Kerk (Gereja Protestan Hindia
Belanda) pada adad ke-19. Kekafiran yang dianggap kolonialisme Belanda kepada
penduduk pribumi dengan budaya dan agama suku/leluhurnya bukan tanpa sebab,
namun semua itu terjadi akibat kekhawatiran dari pihak kolonialisme Belanda
tentang perlawanan yang kapan saja dapat dilakukan oleh masyarakat pribumi
dengan bahasa, budaya dan agama yang dianut. Oleh karena itu, hampir semua
daerah yang dulunya pernah dijajah pemerintah kolonial Belanda, kehilangan
budaya dan agama aslinya.
Ketika penyebaran agama Hindu, Buddha,
Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu yang membuat masyarakat percaya sehingga
pada akhirnya agama suku/leluhur ditinggalkan. Namun dibalik semua itu ada dampak negatif yang
terjadi yaitu, agama-agama dunia yang dianut masyarakat Nusantara justru
memiliki egomoni tersendiri untuk mempertahankan agamanya dengan
propaganda-propaganda kalim kebenaran hanya pada satu agama dan agama lainnya
tidak. Dengan perspektif semacam ini yang tertanam dalam batin masyarakat, akan
berdampak pada kapan saja bisa terjadi konflik dengan memainkan isu agama, hal
itu terbawa sejak zaman primordial hingga nasional saat Indonesia merdeka
sampai sekarang ini.
Relasi
agama dan negara bahkan antarmasyarakat beragama di zaman primordial hingga
nasional merupakan isu besar yang merupakan kekhasan dan keunikan, tetapi juga
seringkali menjadi masalah dalam menjalani kehidupan sosial, politik, ekonomi
dan lainnya. Banyak dari masyarakat yang memiliki keberagaman sangat menghargai
dan menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, tetapi banyak pula yang
justru lebih condong mengutamakan kelompok dan golongannya yang bahkan dapat
berdampak pada diskriminasi dari kelompok mayoritas kepada minoritas hingga
terjadinya konflik. Dengan kemajemukan yang ada, Pancasila dilahirkan dari
batin masyarakat Nusantara untuk menenun keseimbangan yang bertajuk pada keterbukaan
dan saling menerima antarmasyarakat di Indonesia yang majemuk dan plural.
Menuju lahirnya Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara-bangsa Indonesia,
akan terlebih dahulu penulis menguak realitas pluralisme yang berwajah humanis
pada setiap bangsa-bangsa di Nusantara yang kemudian merajut negara-bangsa
Indonesia.
Di
Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam Sumpah Pemuda, 17 tahun sebelum
proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan
tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda,
mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama
itulah yang kemudian mempersatukan rakyat Nusantara. Akan tetapi bahasa
bersama, bahasa Indonesia, tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena para
pemuda merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai
bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian amat penting sebagai
sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia.[2]
Indonesia menjadi negara-bangsa yang
baru terbentuk tahun 1945 dan sangat majemuk. Kemajemukan itu nampak dalam kesepakatan
luhur para pendiri bangsa dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Dari
keberagaman tersebut, membuat masyarakat hidup dalam keharmonisan sebagai suatu
bangsa yang tetap ada sampai sekarang, akan tetapi pada titik lain, selama 78
tahun mengalami pasang surut hubungan antarsesamanya. Dalam sejarahnya, pada
masa Pra-Indonesia masing-masing daerah merupakan sebuah bangsa dengan
identitas kesukuan yang memiliki budaya dan agama (agama suku/leluhur maupun
agama dunia), semua itu disebut sebagai identitas primordial. Bangsa-bangsa
tersebut independen satu sama lainnya, hanya dipersatukan oleh administrasi
kolonial pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian pada 17 Agustus 1945, menjadi
sebuah negara-bangsa Indonesia yang disebut sebagai identitas nasional dan baru
diakui tahun 1949.[3]
Primordialisme menunjuk pada keberagaman agama suku atau agama leluhur dan agama dunia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu) merupakan sebuah harmoni maksimal Nusantara yang menjadi kekhasan keberagaman dengan dibalut oleh berbagai macam budaya sebagai identitas primordial pada individu maupun kolektif masyarakat Nusantara. Kendatipun demikian setiap tradisi beragama selalu bermuka dua, mengandung benih-benih rekonsiliasi dan kekerasan, eksklusif-partikularis dan inklusif-universalis.[4] Artinya keberagaman agama tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik oleh penganutnya, sehingga banyak propaganda-propaganda politik yang dimainkan untuk semakin menghancurkan kehidupan bersama, sebab kehidupan publik mengalami kekurangan dalam kedalaman makna yang dapat membangkitkan kesetiaan dan komitmen sesama warga. Namun pada titik lain, jika agama dapat direduksi ke dalam batin individu maupun kolektif dengan begitu baik, maka akan terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat yang harmoni dan indah.
Pancasila Sebagai Warisan Masa Lampau
untuk Kemajemukan dan Perdamaian Masa Depan
John Titaley melihat hubungan agama dan
negara dengan mempertimbangkan pikiran dari J. Philip Wogaman. Ada empat tipe
yang menunjukkan relasi agama dan negara yaitu:
1.
Teokrasi,
yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau
lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegara lewat berbagai
kebijakan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut.
2.
Erestianisme, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di
dalamnya para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan
negara.
3.
Pemisahan Gereja-Negara yang Rusuh, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di
dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras antara gereja dan negara.
4.
Pemisahan Gereja-Negara yang Ramah, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di
dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal antara kehidupan beragama dan
kehidupan bernegara.[5]
Terhadap keempat tipe di atas, tentu
akan sangat memiliki pengaruh bagi suatu negara apabila hanya agama tertentu
dijadikan sentral atau agama resmi pada sebuah negara yang menutup realitas
keberlanjutan dari agama lain yang justru tidak menjadi agam resmi negara
sehingga terjadinya propaganda-propaganda yang lagi-lagi akan bermuara pada
konflik. Selain daripada itu, jika para pemangku kekuasan memainkan peran
politiknya dengan mempergunakan agama sebagai sebuah tujuan dalam bernegara
bahkan mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan bernegara, maka tentunya
segala hal tidak akan berjalan dalam humanisme sebab banyak kepentingan baik
dari pihak-pihak yang mengupayakan untuk salah-satu agama sebagai agama resmi
sebuah negara, maupun legitimasi kekuasaan yang memperalat agama demi sebuah
kepentingan.
Selama ini, masyarakat Indonesia pada
umumnya masih mewarisi sikap beragama yang eksklusif. Praktik beragama di
Indonesia sangat dominan diwarnai dengan tindakan eksklusivisme yang begitu
kental, sehingga akan terus terjadi masalah jika masih tetap dipertahan.[6]
Jika tindakan eksklusivisme terus dominan diperankan masyarakat Indonesia, maka
akan terus terciptanya segregasi-segregasi pikiran yang mengarahkan tindakan
penganut salah-satu agama dunia yang tidak humanis. Oleh karena itu, masyarakat
harus menyadari posisinya sebagai pemilik salah-satu agama dunia maupun yang
masih memeluk agama suku/leluhur hasil warisan primordialisme, maka jalan
nasionalisme sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi sebuah
titik kesadaran mutlak bahwa memang sebagai masyarakat yang mewarisi
primordialisme, harus dapat mampu sebagai masyarakat humanis di dalam
keberagaman dan kemajemukan yang ada.
Jika praktik masyarakat tetap
mendominankan identitas primordial di tengah konteks negara-bangsa Indonesia,
maka akan terus berdampak konflik akibat dari tidak saling menerima perbedaan
antara kelompok satu dan lainnya. Sebaliknya, jika masyarakat telah memuncak
pada kesadaran akan indentitas gandanya dengan terus berperan untuk tidak
mendominankan salah satu identitas dalam diri individu maupun kelompok, maka
kehidupan dalam negara-bangsa Indonesia yang majemuk akan terus mengalami
perdamaian dan kesejahteraan akibat dari kesadaran akan keberagaman adalah
sebuah hal yang menjadi keunikan Indonesia.[7]
Primordial dan nasional merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dalam realitas konteks yang melahirkan Pancasila
sebagai dasar negara-bangsa Indonesia dan mengatur tatanan keberagaman agama
dan pluralitas Indonesia. Lahirnya Pancasila dari cakrawala batin manusia
Nusantara yang kemudian digali oleh Soekarno dan menyampaikannya dalam
pidatonya pada 1 Juni 1945. Menjadi tidak berarti, jika hanya sekadar
disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya begitu saja, namum ada ribuan makna
sebagai titik fundamental untuk menyatukan keberagaman manusia Nusantara
menjadi Indonesia yang berketuhanan yang berkebudayaan.
Penulis akan menunjukkan tujuh versi
Pancasila yang kian akan bertajuk pada dasar negara-bangsa Indonesia dan
sebagai agama sipil di Indonesia. Pancasila bukan hal baru bagi masyarakat
Indonesia di zaman revolusi digital ini, namun Pancasila yang lahir dari batin
manusia Nusantara. Selanjutnya merupakan tujuh versi Pancasila dari berbagai
konteks.
Kata Pancasila sudah digunakan oleh Empu
Tentular dalam tulisannya Sutasoma dan Negara Kertagama pada Prapanca zaman
Majapahit. Pada kitab Negara Kertagama tertulis; “Yatnanggegwani Pancasyila Kertasangkarabhisekakakakrama” yang
terdiri dari:
1.
Tidak
boleh melakukan kekerasan
2.
Tidak
boleh mencuri
3.
Tidak
boleh berjiwa dengki
4.
Tidak
boleh berlaku berbohong
5.
Tidak
boleh meminum minuman keras yang memabukkan.[8]
Versi pertama, Pidato Soekarno - 1 Juni
1945, pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK).
Uraian Soekarno terhadap Pancasila untuk menjawab pertanyaan Ketua BPUPK, Dr.
Radjiman Wedyodiningrat, tentang dasar bagi Indonesia merdeka yang dijanjikan
akan diberikan oleh Jepang.
1.
Kebangsaan
Indonesia
2.
Internasionalisme,
atau perikemanusiaan
3.
Mufakat,
atau demokrasi
4.
Kesejahteraan
sosial
5.
Ketuhanan.[9]
Versi kedua, Piagam Jakarta - 12 Juni
1945, merupakan rumusan yang dibuat oleh Panitia Kecil yang dibentuk oleh BPUPK
setelah Soekarno mengucapkan uraian Pancasila.
1.
Ketuhanan,
dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi seluruh-pemeluknya
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[10]
Versi ketiga, Pembukaan Undang-undang Dasar
1945 – 18 Agustus 1945. Ini merupakan rumusan yang dihasilkan oleh Panitia
Persiapan Kemerdekaan (PPK). Inilah rumusan yang merupakan rumusan resmi
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru dibuat satu hari setelah
proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, rumusan ini sebagai UUD bagi
negara baru bernama Republik Indonesia serta menjadi rumusan terakhir dan resmi
Pancasila.
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[11]
Versi keempat, Mukadimah Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (RIS) – 6 Pebruari 1950. Rumusan ini dibuat setelah
terjadi penolakan Belanda atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan
tanggal 17 Agustus 1945 lewat berbagai tindakan militer mereka. Kemudian
melalui berbagai percakapan yang berlangsung sejak tahun 1945-1949, dilakukan
Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dan Belanda dapat mengakui kemerdekaan
Indonesia dalam bentuk RIS. Dalam pembukaan UUD RIS, terdapat Pancasila dengan
rumusan yang ringkas. Namun RIS tidak berlangsung lama karena pada tanggal 17
Agustus 1950, RIS bubar dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan UUD sementara.
1.
Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa
2.
Peri-kemanusiaan
3.
Kebangsaan
4.
Kerakyatan
5.
Keadilan
Sosial.[12]
Versi kelima, Undang-Undang Dasar
Sementara – 17 Agustus 1950. Pancasila dalam UUD sementara ini tidak berbeda
dengan Pancasila versi UUD RIS. UUD itu disebut sementara karena akan dilakukan
Pemilihan Umum untuk membentuk Konstituante, yaitu Badan yang akan menyusun UUD
yang tetap bagi NKRI.
1
Ke-Tuhanan
Yang Maha Esa
2
Peri-kemanusiaan
3
Kebangsaan
4
Kerakyatan
5
Keadilan
Sosial.[13]
Versi keenam, Dekrit Presiden – 5 Juli
1959 dengan Konsideran Piagam Jakarta Menjiwai UUD 1945. Rumusan Pancasila
versi Dekrit Presiden ini, sama dengan rumusan Pancasila versi pembukaan UUD
1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.
1.
Ketuhanan
Yang Maha Esa
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab
3.
Persatuan
Indonesia
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
5.
Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[14]
Pancasila sebagai sumber segala sumber
hukum di Indonesia jika dikaji secara mendalam, maka akan menjadi fundamental
negara-bangsa Indonesia dan sebagai agama sipil di Indonesia. TAP MPRS Nomor XX
tanggal 5 Juni 1966, menetapkan Pancasila menjadi semua buat semua.[15]
Dengan ditetapkan kembali Pancasila menjadi semua buat semua, maka
fundamentalis negara-bangsa Indonesia menjadi kokoh dalam keberagaman
Nusantara. Pancasila benar-benar lahir dari batin manusia Nusantara dan menjadi
kosmologi manusia Nusantara. Jika tanpa Pancasila, maka Nusantara akan tetap
berada pada titik primordialisme negatif dengan mengutamakan bangsa, suku,
agama, ras, golongan dan lainnya yang bertujuan untuk tidak tercapainya
Indonesia yang Berbhineka.
Pancasila menjadi titik yang sangat
krusial untuk menentukan arah negara-bangsa Indonesia dengan berbagai
keberagaman budaya maupun agama. Namun dari keberagaman di Nusantara, justru
menjadi rahim lahirnya Pancasila sekaligus menjadi jalan seluruh keberagaman
masyarakat Nusantara untuk konteks kehidupan bersama. Pancasila tidak membuat
semuanya menjadi satu dan meninggalkan atau mengabaikan keberagaman budaya dan
agamanya, namun justru menjadikan masyarakat Nusantara sebagai manusia yang
berkebudayaan dan beragama dalam Pancasila tanpa harus melanggengkan kekuatan
mayoritas dan menekan kelompok minoritas.
Pancasila menjadi semua buat semua,
maka “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa”, bertajuk
pada konteks keberagaman agama baik yang percaya kepada Ilahi tertentu (theistic) atau percaya kepada yang
non-ilahi (non-theistic) seperti
Buddha, namun tidak boleh ada yang tertinggal tetapi mendapatkan hak dan
kewajibannya. Semua yang beraga tidak menuhankan agamanya, tetapi hidup dan
rukun dalam Ketuhanan yang berdasarkan iman dan kepercayaannya. Selanjutnya “Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab” mengatur
tentang seluruh kehidupan manusia Indonesia dari berbagai latar belakang agama,
suku, ras dan lainnya wajib mendapat penghargaan dengan segala haknya dalam
menjalani seluruh hal di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Sila Persatuan Indonesia” mengatur
tentang kesatuan dalam keberagaman, di mana seluruh masyarakat berada di
berbagai belahan Indonesia dengan latar belakang daerahnya yang berbeda, namun
tetap menjadi Indonesia dan tidak boleh ada yang didiskriminasi sehingga
mendapatkan hak dan kewajibannya. “Sila
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan”, merujuk pada setiap warga negara Indonesia
yang memiliki latar belakang aliran politik yang berbeda, berhak menyuarakannya
sebagai hak kemanusiaannya di dalam Negara Indonesia. “Sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia” mengatur tentang kehidupan sosial dan ekonomi
masyarakat Indonesia, wajib mendapatkan tempatnya dan seluruh kebijakan
pemerintah harus merata tanpa harus lebih condong pada kelompok mayoritas dan
mendiskriminasi kelompok minoritas, atau semakin membuat penguasa terus merasa
kaya dan berkelimpahan, sedangkan rakyat terus terpuruk dan berada dalam
kemiskinan.
Pada akhirnya, Pancasila menenun
keberagaman masyarakat Nusantara menjadi tenunan Indonesia yang hidup dalam
kemajemukan dengan mengutamakan rasa saling menghargai dan terus menjaga
keberagaman yang ada sebagai sebuah keniscayaan yang telah mengkosmos dan
mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pancasila
Sebagai Agama Sipil
Pancasila dan Indonesia ibarat suatu
mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya akan
berdampak pada tidak bermaknanya Pancasila dan Indonesia itu sendiri. Pancasila, dalam hal ini adalah realitas ideal dari suatu kondisi
material yang terdiri dari berbagai suku-bangsa dengan keragaman sosial
budayanya, yang bernama Indonesia. Dari sudut pemahaman seperti ini, maka
Pancasila dapat dilihat sebagai puncak konsensus manusia Indonesia.[16]
Pancasila menjadi fundamentalis dalam kesadaran kolektif, hal tersebut
tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang
diputuskan dalam sidang BPUPKI pada 16 Juli 1945 hingga memuncak pada 18
Agustus 1945 dalam persidangan yang sama (BPUPKI dan PPKI).
John Titaley mengatakan, agama sipil adalah suatu kesetiaan warga
suatu masyarakat yang terikat pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri
untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama. Kalau
kehendak umum tersebut dipahami baik untuk memiliki nilai transendental, maka
adalah tugas setiap warga untuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga berguna
bagi sesamanya.[17] Dogma agama sipil adalah
toleransi, jika terjadi intoleransi maka itu melanggar ajaran agama sipil.
Dengan demikian, Pancasila bukan hanya sebagai sebuah fundamentalis masyarakat,
bangsa dan negara, tetapi juga agama sehingga agama harus inklusif dan bukan
eksklusif. Agama-agama seharusnya mengembangkan agama sipil. Dengan beragam
penyebutan nama Ilahi, karena itu yang Ilahi itu harus dipahami sebagai yang
inklusif, sebab jika eksklusif penganutnya seperti hidup di rimba dengan
memakai hukum rimba sehingga mengkafirkan yang lain.
Dalam bereligiositas Pancasila dan warga negara Indonesia patut
mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan,
kesatuan, dan kesetaraan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan
berbangsa, sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan solidaritas
kebangsaan, merawat, serta menyelamatkan Indonesia dalam mewujudkan kehendak
umumnya, yaitu Indonesia raya yang menyejahterakan. Sebagai agama sipil
Indonesia, Pancasila adalah agama sejati dan agama bersama dari seluruh rakyat
Indonesia. Pancasila menjadi jalan kehidupan bersama yang menuntun dan menuntut
Indonesia menuju kesejahteraan bersama.[18]
Jika dalam konteks modern dengan era revolusi digital yang
berdampak pada Indonesia, Pancasila menjadi poros utama manusia Indonesia untuk
memuarakan kata dan tindakan agar terciptanya Indonesia raya yang berkeadilan
dan sejahtera. Digitalisasi memuat berbagai peluang yang kemudian salah
digunakan oleh masyarakat sehingga terkikis kesadaran atas Pancasila sebagai
poros perilaku bermasyarakat. Dengan demikian, menjaga peradaban bersama
sebagai Indonesia yang mempertahankan kesaktian Pancasila sebagai sebuah
kosmologi yang mengkosmos dalam batin dan tindakan manusia Indonesia di manapun
berada. Selanjutnya
dengan kesadaran Pancasila, dapat mengokohkan etika bermasyarakat untuk selalu
menjaga keutuhan sebagai Indonesia yang berhamparan luas dengan primordial
yang mewujudkan nasionalisme Indonesia di dalam Pancasila.
Jika seluruh masyarakat penganut agama
dunia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen dan Konghucu) dan penganut agama
Leluhur atau Suku menyadari keberadaan Pancasila dengan menjadikannya sebagai
agama sipil di Indonesia, maka seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan
keberagaman agama akan semakin harmonis tanpa harus menuhankan agama melalui
dogmanya, tetapi Tuhan yang sejatinya bukan hanya milik suatu kelompok agama
tertentu, namun milik semua orang Beragama dan saling terbuka untuk menerima
tanpa mengklaim kebenaran hanya milik agama tertentu.
Pancasila sebagai dasar negara telah
mempresentasikan bentuk hubungan paling ideal antara agama dan negara yang
dengan begitu, sebuah konstitusi nasional telah tercapai. Indonesia bukan
negara agama, bukan negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler.[19]
Selain Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila juga harus disadari sebagai
agama sipil untuk mengatur sepenuhnya tatanan kehidupan Bergama di Indonesia
sehingga menjadi humanis.
[1] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan
Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950 (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2017), 11-19; juga dalam Zakaria J. Ngelow, “Gereja dan
Sejarah Kebangsaan Indonesia,” dalam Berteologi
Dalam Sejarah: Masa Lalu Memanusiakan, Masa Depan yang Purnakala, ed. Asteria
Aritonang & Sylvana Apituley. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2023), 11-16.
[2] Franz Magnis Suseno, Prolog: “Tambang Emas
Bagi Yang Ingin Mengerti Indonesia,” dalam Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2021), xxv.
[3] Jhon A. Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual (Salatiga: Fakultas
Teologi Universitas Satya Wacana Press, 2001), 3-4.
[4] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2021), 110-113.
[5] J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics: Revised and Expanded (Louisville,
Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000), 250-2; juga dalam John A.
Titaley, Religiositas di Alinea Tiga:
Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana
University Press, 2013), 3-4.
[6]
John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 1-2.
[7] Jhon A. Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual, 4-5.
[8] Ari Welianto, ‘Istilah Pancasila Sudah Ada
Sejak Zaman Majapahit’. https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/15/090000269/istilah-pancasila-sudah-ada-sejak-zaman-majapahit?page=all. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2024; juga
dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa” Dalam Beraga Mengabdi Bangsa: Kumpulan Esai
Tentang Pancasila, Agama, Kedaerahan dan Nasionalisme, ed. Rachel Iwamony,
Defi S. Nenkeula, dan Agustinus M. L. Batlajery. (Semarang: eLSA Press, 2023),
12-13.
[9] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan
Nannie Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, dengan Kata Pengantar oleh Taufik
Abdullah (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1998), 101-5; Juga dalam John
Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 13-14.
[10]
Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie
Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, 117;
Juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 14.
[11] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan
Nannie Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah
Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) –
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, 538;
Juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 15.
[12] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan
Bangsa,” 16.
[13] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan
Bangsa,” 16-17.
[14] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan
Bangsa,” 17.
[15] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan
Bangsa,” 20.
[16] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 44.
[17] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 6.
[18] I. Made Priana, “Pancasila sebagai Misi
Gereja,” dalam Mozaik Moderasi Beragama:
Dalam Perspektif Kristen, ed. Tetra Adi Siswanto dkk. (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2019), 48-51.
[19] Bidang Marturia PGI, Diskursus Hubungan Agama dan Negara: Respons Gereja Terhadap Perda
Syariat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 10-12.
Komentar
Posting Komentar