PANCASILA SEBAGAI AGAMA SIPIL DI NEGARA-BANGSA INDONESIA



Legacy
Guru yang Mengakar dalam Batin dan Bermuara Pada Praksis 

Pada bagian ini saya menulis khusus dalam rangka Pemberian Penghargaan Kehormatan Profesor Emeritus di Universitas Kristen Indonesia Maluku kepada Prof. Dr. (H. C.) John A. Titaley, Th.D. Sebagai salah satu murid Prof. Dr. (H. C.) John A. Titaley, Th.D. (selanjutnya akan disebut Prof. JT) di Program Studi Doktor Teologi dengan Konsentrasi Agama dan Kebangsaan, Program Pascasarjana Universitas Kristen Indonesia Maluku. Prof. JT. Pernah berkata dalam kuliah Pancasila Sebagai Agama Sipil yang diampuhnya, bahwa dahulu dia bercita-cita untuk mendalami pikiran Prof. Robert N. Bellah, Ph.D. Akhirnya keinginannya itu terpenuhi ketika melanjutkan studi Doktornya di Graduate Theological Unio (GTU), Berkley, USA dan San Francisco Theological Seminary (SFTS), San Anselmo, USA dalam bidang Inter-Area Studies (Perjanjian Lama dan Agama dan Masyarakat), dan berhasil menyelesaikan studi Doktornya dengan judul Disertasi: "Pancasila as National Ideology of the Republic of Indonesia in the Light of Royal Ideology in the Davidic state." Prof. JT. Dibimbing oleh: Prof. Clare B. Fischer, Ph.D., Prof. Robert N. Bellah, Ph.D., Prof. Marvin L. Chaney, Ph.D., Rev. Frank Cooley, Ph.D. 

Pada tahun 2001, Prof. JT. Diteguhkan sebagai Guru Besar dalam Ilmu Teologi, Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, Jawa Tengah. Judul Pidato Pengukuhannya: "Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual." Prof. JT. Mengabdikan dirinya sebagai Guru Besar di UKSW sejak tahun 2001-2018, kemudian dipindahkan untuk menjadi Guru Besar Ilmu Teologi, di Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku-Ambon dari tahun 2018 hingga sekarang ini dan menerima Penghargaan Kehormatan Profesor Emeritus di UKIM-Ambon. Dalam rangka Emeritasi Profesornya, Prof. JT menyampaikan Orasi Ilmiah dengan judul: "Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual: Post-Scriptum."

Atas semua dedikasi dan pelayanan baik mantan Rektor UKSW ini, saya menulis untuk terus mengenang buah karya baiknya di dalam batin dan praksis degan memberi judul tulisan ini, "Pancasila Sebagai Agama Sipil di Negara-Bangsa Indonesia." Tujuannya untuk menegaskan tentang posisi Pancasila Sebagai Agama Sipil di tengah bangsa-bangsa yang berada Nusantara sebagai titik primordial yang kemudian menjadi Republik Indonesia hingga Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam titik Nasional. Selanjutnya akan dilihat ulasannya pada tulisan ini.

Keberagaman Masa Lalu Menuju Indonesia yang Pancasilais

Nusantara merupakan tempat yang memilliki keberagaman budaya dan agama suku/leluhur, serta sumber daya alam yang melimpah sehingga menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa untuk datang dan dengan cara paksa mengambil SDA di Nusantara. Sejak abad ke-4 , sudah ada kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha, termasuk Sriwijaya dan Majapahit yang cukup lama menguasai sebagian wilayah Nusantara. Kemudian di abad ke-9, mulai muncul kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara. Namun, sejak pertengahan abad ke-7 sampai abad ke-16, Portugis telah datang ke Indonesia dan lebih condong ke Indonesia bagian Timur untuk mengambil sumber daya alam, tetapi juga menyebarkan agamanya. Hal itu juga menarik perhatian pemerintah colonial Belanda untuk datang ke Nusantara sejak akhir abad-16 hingga abad ke-19 dan memiliki tujuan yang sama dengan Portugis.[1]

Sudah sejak awal daerah-daerah atau bangsa-bangsa di Nusantara memiliki keunikan budaya dan agama leluhur/suku yang dianut, namun kemudian ada budaya-budaya dan agama-agama tertentu dianggap kafir. Pada bagian ini, penulis melihat secara khusus mengenai penjajahan pada zaman pemerintah kolonial Belanda. Sejak awal abad ke-16 melalui badan dagang Belanda (VOC) hingga akhir abad ke-17 yang kemudian dilanjutkan oleh Indische Kerk (Gereja Protestan Hindia Belanda) pada adad ke-19. Kekafiran yang dianggap kolonialisme Belanda kepada penduduk pribumi dengan budaya dan agama suku/leluhurnya bukan tanpa sebab, namun semua itu terjadi akibat kekhawatiran dari pihak kolonialisme Belanda tentang perlawanan yang kapan saja dapat dilakukan oleh masyarakat pribumi dengan bahasa, budaya dan agama yang dianut. Oleh karena itu, hampir semua daerah yang dulunya pernah dijajah pemerintah kolonial Belanda, kehilangan budaya dan agama aslinya.

Ketika penyebaran agama Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu yang membuat masyarakat percaya sehingga pada akhirnya agama suku/leluhur ditinggalkan. Namun  dibalik semua itu ada dampak negatif yang terjadi yaitu, agama-agama dunia yang dianut masyarakat Nusantara justru memiliki egomoni tersendiri untuk mempertahankan agamanya dengan propaganda-propaganda kalim kebenaran hanya pada satu agama dan agama lainnya tidak. Dengan perspektif semacam ini yang tertanam dalam batin masyarakat, akan berdampak pada kapan saja bisa terjadi konflik dengan memainkan isu agama, hal itu terbawa sejak zaman primordial hingga nasional saat Indonesia merdeka sampai sekarang ini.

Relasi agama dan negara bahkan antarmasyarakat beragama di zaman primordial hingga nasional merupakan isu besar yang merupakan kekhasan dan keunikan, tetapi juga seringkali menjadi masalah dalam menjalani kehidupan sosial, politik, ekonomi dan lainnya. Banyak dari masyarakat yang memiliki keberagaman sangat menghargai dan menerima perbedaan sebagai sebuah keniscayaan, tetapi banyak pula yang justru lebih condong mengutamakan kelompok dan golongannya yang bahkan dapat berdampak pada diskriminasi dari kelompok mayoritas kepada minoritas hingga terjadinya konflik. Dengan kemajemukan yang ada, Pancasila dilahirkan dari batin masyarakat Nusantara untuk menenun keseimbangan yang bertajuk pada keterbukaan dan saling menerima antarmasyarakat di Indonesia yang majemuk dan plural. Menuju lahirnya Pancasila yang kemudian menjadi dasar negara-bangsa Indonesia, akan terlebih dahulu penulis menguak realitas pluralisme yang berwajah humanis pada setiap bangsa-bangsa di Nusantara yang kemudian merajut negara-bangsa Indonesia.

Di Indonesia bangsa mendahului negara. Dalam Sumpah Pemuda, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama, bahasa Indonesia, tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena para pemuda merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian amat penting sebagai sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia.[2]

Indonesia menjadi negara-bangsa yang baru terbentuk tahun 1945 dan sangat majemuk. Kemajemukan itu nampak dalam kesepakatan luhur para pendiri bangsa dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Dari keberagaman tersebut, membuat masyarakat hidup dalam keharmonisan sebagai suatu bangsa yang tetap ada sampai sekarang, akan tetapi pada titik lain, selama 78 tahun mengalami pasang surut hubungan antarsesamanya. Dalam sejarahnya, pada masa Pra-Indonesia masing-masing daerah merupakan sebuah bangsa dengan identitas kesukuan yang memiliki budaya dan agama (agama suku/leluhur maupun agama dunia), semua itu disebut sebagai identitas primordial. Bangsa-bangsa tersebut independen satu sama lainnya, hanya dipersatukan oleh administrasi kolonial pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian pada 17 Agustus 1945, menjadi sebuah negara-bangsa Indonesia yang disebut sebagai identitas nasional dan baru diakui tahun 1949.[3]

Primordialisme menunjuk pada keberagaman agama suku atau agama leluhur dan agama dunia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu) merupakan sebuah harmoni maksimal Nusantara yang menjadi kekhasan keberagaman dengan dibalut oleh berbagai macam budaya sebagai identitas primordial pada individu maupun kolektif masyarakat Nusantara. Kendatipun demikian setiap tradisi beragama selalu bermuka dua, mengandung benih-benih rekonsiliasi dan kekerasan, eksklusif-partikularis dan inklusif-universalis.[4] Artinya keberagaman agama tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik oleh penganutnya, sehingga banyak propaganda-propaganda politik yang dimainkan untuk semakin menghancurkan kehidupan bersama, sebab kehidupan publik mengalami kekurangan dalam kedalaman makna yang dapat membangkitkan kesetiaan dan komitmen sesama warga. Namun pada titik lain, jika agama dapat direduksi ke dalam batin individu maupun kolektif dengan begitu baik, maka akan terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat yang harmoni dan indah.

Pancasila Sebagai Warisan Masa Lampau untuk Kemajemukan dan Perdamaian Masa Depan

John Titaley melihat hubungan agama dan negara dengan mempertimbangkan pikiran dari J. Philip Wogaman. Ada empat tipe yang menunjukkan relasi agama dan negara yaitu:

1.       Teokrasi, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya pemimpin agama atau lembaga keagamaan tertentu mengendalikan kehidupan bernegara lewat berbagai kebijakan dan undang-undang untuk tujuan-tujuan agama tersebut.

2.      Erestianisme, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya para pemimpin politik telah mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan negara.

3.      Pemisahan Gereja-Negara yang Rusuh, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya terjadi pemisahan yang sangat keras antara gereja dan negara.

4.      Pemisahan Gereja-Negara yang Ramah, yaitu suatu kehidupan bernegara yang di dalamnya ada pemisahan yang tegas secara legal antara kehidupan beragama dan kehidupan bernegara.[5]

Terhadap keempat tipe di atas, tentu akan sangat memiliki pengaruh bagi suatu negara apabila hanya agama tertentu dijadikan sentral atau agama resmi pada sebuah negara yang menutup realitas keberlanjutan dari agama lain yang justru tidak menjadi agam resmi negara sehingga terjadinya propaganda-propaganda yang lagi-lagi akan bermuara pada konflik. Selain daripada itu, jika para pemangku kekuasan memainkan peran politiknya dengan mempergunakan agama sebagai sebuah tujuan dalam bernegara bahkan mengeksploitasi agama untuk tujuan-tujuan bernegara, maka tentunya segala hal tidak akan berjalan dalam humanisme sebab banyak kepentingan baik dari pihak-pihak yang mengupayakan untuk salah-satu agama sebagai agama resmi sebuah negara, maupun legitimasi kekuasaan yang memperalat agama demi sebuah kepentingan.

Selama ini, masyarakat Indonesia pada umumnya masih mewarisi sikap beragama yang eksklusif. Praktik beragama di Indonesia sangat dominan diwarnai dengan tindakan eksklusivisme yang begitu kental, sehingga akan terus terjadi masalah jika masih tetap dipertahan.[6] Jika tindakan eksklusivisme terus dominan diperankan masyarakat Indonesia, maka akan terus terciptanya segregasi-segregasi pikiran yang mengarahkan tindakan penganut salah-satu agama dunia yang tidak humanis. Oleh karena itu, masyarakat harus menyadari posisinya sebagai pemilik salah-satu agama dunia maupun yang masih memeluk agama suku/leluhur hasil warisan primordialisme, maka jalan nasionalisme sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia harus menjadi sebuah titik kesadaran mutlak bahwa memang sebagai masyarakat yang mewarisi primordialisme, harus dapat mampu sebagai masyarakat humanis di dalam keberagaman dan kemajemukan yang ada.

Jika praktik masyarakat tetap mendominankan identitas primordial di tengah konteks negara-bangsa Indonesia, maka akan terus berdampak konflik akibat dari tidak saling menerima perbedaan antara kelompok satu dan lainnya. Sebaliknya, jika masyarakat telah memuncak pada kesadaran akan indentitas gandanya dengan terus berperan untuk tidak mendominankan salah satu identitas dalam diri individu maupun kelompok, maka kehidupan dalam negara-bangsa Indonesia yang majemuk akan terus mengalami perdamaian dan kesejahteraan akibat dari kesadaran akan keberagaman adalah sebuah hal yang menjadi keunikan Indonesia.[7]

Primordial dan nasional merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam realitas konteks yang melahirkan Pancasila sebagai dasar negara-bangsa Indonesia dan mengatur tatanan keberagaman agama dan pluralitas Indonesia. Lahirnya Pancasila dari cakrawala batin manusia Nusantara yang kemudian digali oleh Soekarno dan menyampaikannya dalam pidatonya pada 1 Juni 1945. Menjadi tidak berarti, jika hanya sekadar disampaikan oleh Soekarno dalam pidatonya begitu saja, namum ada ribuan makna sebagai titik fundamental untuk menyatukan keberagaman manusia Nusantara menjadi Indonesia yang berketuhanan yang berkebudayaan.

Penulis akan menunjukkan tujuh versi Pancasila yang kian akan bertajuk pada dasar negara-bangsa Indonesia dan sebagai agama sipil di Indonesia. Pancasila bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia di zaman revolusi digital ini, namun Pancasila yang lahir dari batin manusia Nusantara. Selanjutnya merupakan tujuh versi Pancasila dari berbagai konteks.

Kata Pancasila sudah digunakan oleh Empu Tentular dalam tulisannya Sutasoma dan Negara Kertagama pada Prapanca zaman Majapahit. Pada kitab Negara Kertagama tertulis; “Yatnanggegwani Pancasyila Kertasangkarabhisekakakakrama” yang terdiri dari:

1.      Tidak boleh melakukan kekerasan

2.      Tidak boleh mencuri

3.      Tidak boleh berjiwa dengki

4.      Tidak boleh berlaku berbohong

5.      Tidak boleh meminum minuman keras yang memabukkan.[8]

Versi pertama, Pidato Soekarno - 1 Juni 1945, pada Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Uraian Soekarno terhadap Pancasila untuk menjawab pertanyaan Ketua BPUPK, Dr. Radjiman Wedyodiningrat, tentang dasar bagi Indonesia merdeka yang dijanjikan akan diberikan oleh Jepang.

1.      Kebangsaan Indonesia

2.      Internasionalisme, atau perikemanusiaan

3.      Mufakat, atau demokrasi

4.      Kesejahteraan sosial

5.      Ketuhanan.[9]

Versi kedua, Piagam Jakarta - 12 Juni 1945, merupakan rumusan yang dibuat oleh Panitia Kecil yang dibentuk oleh BPUPK setelah Soekarno mengucapkan uraian Pancasila.

1.      Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi seluruh-pemeluknya

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab

3.      Persatuan Indonesia

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[10]

Versi ketiga, Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 – 18 Agustus 1945. Ini merupakan rumusan yang dihasilkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan (PPK). Inilah rumusan yang merupakan rumusan resmi Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang baru dibuat satu hari setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Dengan demikian, rumusan ini sebagai UUD bagi negara baru bernama Republik Indonesia serta menjadi rumusan terakhir dan resmi Pancasila.

1.      Ketuhanan Yang Maha Esa

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab

3.      Persatuan Indonesia

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[11]

Versi keempat, Mukadimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) – 6 Pebruari 1950. Rumusan ini dibuat setelah terjadi penolakan Belanda atas kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 lewat berbagai tindakan militer mereka. Kemudian melalui berbagai percakapan yang berlangsung sejak tahun 1945-1949, dilakukan Konperensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dan Belanda dapat mengakui kemerdekaan Indonesia dalam bentuk RIS. Dalam pembukaan UUD RIS, terdapat Pancasila dengan rumusan yang ringkas. Namun RIS tidak berlangsung lama karena pada tanggal 17 Agustus 1950, RIS bubar dan Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan UUD sementara.

1.      Ke-Tuhanan Yang Maha Esa

2.      Peri-kemanusiaan

3.      Kebangsaan

4.      Kerakyatan

5.      Keadilan Sosial.[12]  

Versi kelima, Undang-Undang Dasar Sementara – 17 Agustus 1950. Pancasila dalam UUD sementara ini tidak berbeda dengan Pancasila versi UUD RIS. UUD itu disebut sementara karena akan dilakukan Pemilihan Umum untuk membentuk Konstituante, yaitu Badan yang akan menyusun UUD yang tetap bagi NKRI.

1        Ke-Tuhanan Yang Maha Esa

2        Peri-kemanusiaan

3        Kebangsaan

4        Kerakyatan

5        Keadilan Sosial.[13]

Versi keenam, Dekrit Presiden – 5 Juli 1959 dengan Konsideran Piagam Jakarta Menjiwai UUD 1945. Rumusan Pancasila versi Dekrit Presiden ini, sama dengan rumusan Pancasila versi pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945.

1.      Ketuhanan Yang Maha Esa

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab

3.      Persatuan Indonesia

4.      Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[14]

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum di Indonesia jika dikaji secara mendalam, maka akan menjadi fundamental negara-bangsa Indonesia dan sebagai agama sipil di Indonesia. TAP MPRS Nomor XX tanggal 5 Juni 1966, menetapkan Pancasila menjadi semua buat semua.[15] Dengan ditetapkan kembali Pancasila menjadi semua buat semua, maka fundamentalis negara-bangsa Indonesia menjadi kokoh dalam keberagaman Nusantara. Pancasila benar-benar lahir dari batin manusia Nusantara dan menjadi kosmologi manusia Nusantara. Jika tanpa Pancasila, maka Nusantara akan tetap berada pada titik primordialisme negatif dengan mengutamakan bangsa, suku, agama, ras, golongan dan lainnya yang bertujuan untuk tidak tercapainya Indonesia yang Berbhineka.

Pancasila menjadi titik yang sangat krusial untuk menentukan arah negara-bangsa Indonesia dengan berbagai keberagaman budaya maupun agama. Namun dari keberagaman di Nusantara, justru menjadi rahim lahirnya Pancasila sekaligus menjadi jalan seluruh keberagaman masyarakat Nusantara untuk konteks kehidupan bersama. Pancasila tidak membuat semuanya menjadi satu dan meninggalkan atau mengabaikan keberagaman budaya dan agamanya, namun justru menjadikan masyarakat Nusantara sebagai manusia yang berkebudayaan dan beragama dalam Pancasila tanpa harus melanggengkan kekuatan mayoritas dan menekan kelompok minoritas.

Pancasila menjadi semua buat semua, maka “Sila Ketuhanan Yang Maha Esa”, bertajuk pada konteks keberagaman agama baik yang percaya kepada Ilahi tertentu (theistic) atau percaya kepada yang non-ilahi (non-theistic) seperti Buddha, namun tidak boleh ada yang tertinggal tetapi mendapatkan hak dan kewajibannya. Semua yang beraga tidak menuhankan agamanya, tetapi hidup dan rukun dalam Ketuhanan yang berdasarkan iman dan kepercayaannya. Selanjutnya “Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab” mengatur tentang seluruh kehidupan manusia Indonesia dari berbagai latar belakang agama, suku, ras dan lainnya wajib mendapat penghargaan dengan segala haknya dalam menjalani seluruh hal di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. “Sila Persatuan Indonesia” mengatur tentang kesatuan dalam keberagaman, di mana seluruh masyarakat berada di berbagai belahan Indonesia dengan latar belakang daerahnya yang berbeda, namun tetap menjadi Indonesia dan tidak boleh ada yang didiskriminasi sehingga mendapatkan hak dan kewajibannya. “Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, merujuk pada setiap warga negara Indonesia yang memiliki latar belakang aliran politik yang berbeda, berhak menyuarakannya sebagai hak kemanusiaannya di dalam Negara Indonesia. “Sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mengatur tentang kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia, wajib mendapatkan tempatnya dan seluruh kebijakan pemerintah harus merata tanpa harus lebih condong pada kelompok mayoritas dan mendiskriminasi kelompok minoritas, atau semakin membuat penguasa terus merasa kaya dan berkelimpahan, sedangkan rakyat terus terpuruk dan berada dalam kemiskinan.

Pada akhirnya, Pancasila menenun keberagaman masyarakat Nusantara menjadi tenunan Indonesia yang hidup dalam kemajemukan dengan mengutamakan rasa saling menghargai dan terus menjaga keberagaman yang ada sebagai sebuah keniscayaan yang telah mengkosmos dan mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Pancasila Sebagai Agama Sipil

Pancasila dan Indonesia ibarat suatu mata uang dengan dua sisi yang tidak dapat dipisahkan. Pemisahan hanya akan berdampak pada tidak bermaknanya Pancasila dan Indonesia itu sendiri. Pancasila, dalam hal ini adalah realitas ideal dari suatu kondisi material yang terdiri dari berbagai suku-bangsa dengan keragaman sosial budayanya, yang bernama Indonesia. Dari sudut pemahaman seperti ini, maka Pancasila dapat dilihat sebagai puncak konsensus manusia Indonesia.[16] Pancasila menjadi fundamentalis dalam kesadaran kolektif, hal tersebut tergambar jelas dan final dalam pergumulan, perdebatan dan ketetapan yang diputuskan dalam sidang BPUPKI pada 16 Juli 1945 hingga memuncak pada 18 Agustus 1945 dalam persidangan yang sama (BPUPKI dan PPKI). 

John Titaley mengatakan, agama sipil adalah suatu kesetiaan warga suatu masyarakat yang terikat pada kontrak sosial yang mereka bangun sendiri untuk mencapai bersama-sama kehendak umum mereka (general will), yaitu keadilan dan kesejahteraan bersama. Kalau kehendak umum tersebut dipahami baik untuk memiliki nilai transendental, maka adalah tugas setiap warga untuk melakukan tugasnya dengan baik sehingga berguna bagi sesamanya.[17] Dogma agama sipil adalah toleransi, jika terjadi intoleransi maka itu melanggar ajaran agama sipil. Dengan demikian, Pancasila bukan hanya sebagai sebuah fundamentalis masyarakat, bangsa dan negara, tetapi juga agama sehingga agama harus inklusif dan bukan eksklusif. Agama-agama seharusnya mengembangkan agama sipil. Dengan beragam penyebutan nama Ilahi, karena itu yang Ilahi itu harus dipahami sebagai yang inklusif, sebab jika eksklusif penganutnya seperti hidup di rimba dengan memakai hukum rimba sehingga mengkafirkan yang lain.

Dalam bereligiositas Pancasila dan warga negara Indonesia patut mencintai dan mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila berupa kemanusiaan, kesatuan, dan kesetaraan dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, dan berbangsa, sebagai jalan untuk meningkatkan kualitas keagamaan dan solidaritas kebangsaan, merawat, serta menyelamatkan Indonesia dalam mewujudkan kehendak umumnya, yaitu Indonesia raya yang menyejahterakan. Sebagai agama sipil Indonesia, Pancasila adalah agama sejati dan agama bersama dari seluruh rakyat Indonesia. Pancasila menjadi jalan kehidupan bersama yang menuntun dan menuntut Indonesia menuju kesejahteraan bersama.[18]

Jika dalam konteks modern dengan era revolusi digital yang berdampak pada Indonesia, Pancasila menjadi poros utama manusia Indonesia untuk memuarakan kata dan tindakan agar terciptanya Indonesia raya yang berkeadilan dan sejahtera. Digitalisasi memuat berbagai peluang yang kemudian salah digunakan oleh masyarakat sehingga terkikis kesadaran atas Pancasila sebagai poros perilaku bermasyarakat. Dengan demikian, menjaga peradaban bersama sebagai Indonesia yang mempertahankan kesaktian Pancasila sebagai sebuah kosmologi yang mengkosmos dalam batin dan tindakan manusia Indonesia di manapun berada. Selanjutnya dengan kesadaran Pancasila, dapat mengokohkan etika bermasyarakat untuk selalu menjaga keutuhan sebagai Indonesia yang berhamparan luas dengan primordial yang mewujudkan nasionalisme Indonesia di dalam Pancasila.

Jika seluruh masyarakat penganut agama dunia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen dan Konghucu) dan penganut agama Leluhur atau Suku menyadari keberadaan Pancasila dengan menjadikannya sebagai agama sipil di Indonesia, maka seluruh tatanan kehidupan masyarakat dengan keberagaman agama akan semakin harmonis tanpa harus menuhankan agama melalui dogmanya, tetapi Tuhan yang sejatinya bukan hanya milik suatu kelompok agama tertentu, namun milik semua orang Beragama dan saling terbuka untuk menerima tanpa mengklaim kebenaran hanya milik agama tertentu.

Pancasila sebagai dasar negara telah mempresentasikan bentuk hubungan paling ideal antara agama dan negara yang dengan begitu, sebuah konstitusi nasional telah tercapai. Indonesia bukan negara agama, bukan negara teokrasi, tetapi juga bukan negara sekuler.[19] Selain Pancasila sebagai dasar negara, Pancasila juga harus disadari sebagai agama sipil untuk mengatur sepenuhnya tatanan kehidupan Bergama di Indonesia sehingga menjadi humanis.



[1] Zakaria J. Ngelow, Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950 (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 11-19; juga dalam Zakaria J. Ngelow, “Gereja dan Sejarah Kebangsaan Indonesia,” dalam Berteologi Dalam Sejarah: Masa Lalu Memanusiakan, Masa Depan yang Purnakala, ed. Asteria Aritonang & Sylvana Apituley. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2023), 11-16.

[2] Franz Magnis Suseno, Prolog: “Tambang Emas Bagi Yang Ingin Mengerti Indonesia,” dalam Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), xxv.

[3] Jhon A. Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual (Salatiga: Fakultas Teologi Universitas Satya Wacana Press, 2001), 3-4.

[4] Yudi Latif, Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2021), 110-113.

[5] J. Philip Wogaman, Christian Perspectives on Politics: Revised and Expanded (Louisville, Kentucky: Westminster John Knox Press, 2000), 250-2; juga dalam John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga: Pluralisme, Nasionalisme dan Transformasi Agama-Agama (Salatiga: Satya Wacana University Press, 2013), 3-4.

[6] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 1-2.

[7] Jhon A. Titaley, Menuju Teologi Agama-Agama yang Kontekstual, 4-5.

[8] Ari Welianto, ‘Istilah Pancasila Sudah Ada Sejak Zaman Majapahit’. https://www.kompas.com/skola/read/2020/06/15/090000269/istilah-pancasila-sudah-ada-sejak-zaman-majapahit?page=all. Diunduh pada tanggal 12 Juni 2024; juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa” Dalam Beraga Mengabdi Bangsa: Kumpulan Esai Tentang Pancasila, Agama, Kedaerahan dan Nasionalisme, ed. Rachel Iwamony, Defi S. Nenkeula, dan Agustinus M. L. Batlajery. (Semarang: eLSA Press, 2023), 12-13.

[9] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan  Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, dengan Kata Pengantar oleh Taufik Abdullah (Jakarta: Sekretariat Negara R.I., 1998), 101-5; Juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 13-14. 

[10] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, 117; Juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 14.

[11] Saafroedin Bahar, Ananda B. Kusuma dan Nannie Hudawati (Panitia Penyunting). Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPK) 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945, 538; Juga dalam John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 15.

[12] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 16.

[13] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 16-17.

[14] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 17.

[15] John Titaley, “Pancasila Dalam Pergumulan Bangsa,” 20.

[16] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 44.

[17] John A. Titaley, Religiositas di Alinea Tiga, 6.

[18] I. Made Priana, “Pancasila sebagai Misi Gereja,” dalam Mozaik Moderasi Beragama: Dalam Perspektif Kristen, ed. Tetra Adi Siswanto dkk. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2019), 48-51.

[19] Bidang Marturia PGI, Diskursus Hubungan Agama dan Negara: Respons Gereja Terhadap Perda Syariat (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 10-12.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENG HARI-INI-KAN INJIL KEPADA ANAK-ANAK

HIMPUNAN MAHASISWA DAN PEMUDA LELEMUKU KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR MENG-HARI-INI-KAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

REFLEKSI EMERITUS PROFESOR DAN PENDETA: PDT. (EM.) PROF. (EM.) DR. (H.C.) JOHN A. TITALEY, TH.D.