ARTI SEBUAH NAMA: MENUKIK KEPULAUAN TANIMBAR
Nama Adat Tanimbar
Apakah perlu seseorang yang memiliki Ibu, Bapak atau Ibu dan Bapak yang berasal dari Tanimbar memiliki nama adat Tanimbar? Apakah orang-orang pendatang dari luar Kepulauan Tanimbar juga perlu memiliki nama adat Tanimbar? Dua pertanyaan tersebut yang melatarbelakangi munculnya penulisan ini untuk mengingat peradaban Tanimbar dengan kekhasan kebudayaannya yang dahulu merupakan agama Leluhur, akan tetapi akibat dari ekspansi kolonialisme negara-negara Eropa sehingga banyak dari agama-agama Leluhur di Indonesia dan Tanimbar khususnya menjadi hilang. Namun, ajaran dari agama Leluhur itu diwarisi sampai saat ini yang dikenal dengan sebutan Duan & Lolat. Duan adalah pemberi anak darah dari pihak keluarga perempuan sehingga harus dihargai sebagai penguasa atau tuan, sedangkan Lolat adalah penerima anak darah dari pihak laki-laki yang bertugas untuk melindungi dan melayani tuannya sebagai hamba.
Nama adat Tanimbar atau dalam Bahasa Seira, Larat & Fordata disebut Naran Adat Tnebar yang dikenal oleh kalangan masyarakat Maluku pada umumnya adalah nama Hindu, nama Kampung, nama adat, dan lainnya. Di Kabupaten Kepulauan Tanimbar, seorang anak darah Tanimbar memiliki nama adat Tanimbar sebagai penanda identitas dirinya. Sebuah nama diberikan bukan tanpa sebab, tetapi itu merupakan warisan Leluhur yang diperoleh dari laut, meti, gunung, tanjung, tanah, air, kedudukan di dalam kampung dan lainnya sebagai kekhasan identitas mereka yang dahulunya mengalami peristiwa-peristiwa yang kemudian perlu diingat melalui sebuah nama.
Pemberian sebuah nama kepada seseorang akan dilihat dari garis keturunannya, maupun kepada para pendatang, baik berjenis kelamin perempuan maupun laki-laki. Pemberian nama Kampung/Hindu tersebut mewakili kedudukan seseorang dalam kultur di suatu tempat, dan nama itu bisa diberikan oleh keluarga perempuan atau laki-laki. Di Kepulauan Tanimbar, pemberian nama Kampung/Hindu hanya khusus dan bukan kepada orang-orang pada umumnya, mereka yang berhak memiliki nama adat Tanimbar adalah Pertama, seseorang yang memiliki Ibu, Bapak atau Ibu dan Bapak yang berasal dari Tanimbar. Hal ini adalah kewajiban bagi seluruh anak darah Tanimbar agar tatap mewarisi identitas primordial positif yang tidak termakan zaman. Kedua, kepada para tamu dari pemerintahan yang tidak memiliki hubungan darah dengan orang Tanimbar, namun karena tugas kenegaraan harus datang ke Kepulauan Tanimbar. Ketiga, para pemuka agama (Pendeta, Pastor, Kiyai, dan lainnya) yang karena pengutusan pelayanan sehingga harus datang ke Tanimbar baik hanya sementara waktu, maupun menetap selama beberapa tahun sampai masa mutasi untuk melayani di tempat baru. Keempat, kepada pendatang yang sama sekali tidak memiliki ikatan darah dengan orang-orang Tanimbar.
Pemberian nama adat Tanimbar bagi para pendatang, seringkali dilakukan dengan cara mengangkat orang pendatang sebagai anak angkat, dan selanjutnya akan diberi nama adat Tanimbar sekaligus memikul atau memakai marga dari orang tua angkat. Hal ini bukan saja baru terjadi, namun sudah dilakukan oleh para Leluhur sebagai akta warisan kebudayaan yang memanusiakan, sebab melalui proses pengangkatan menjadi anak dan memberikan nama serta memakai marga orang tua angkat, adalah sebuah proses penerimaan yang tidak dibatasi oleh hubungan darah, namun sebagai orang-orang yang hidup di Indonesia dengan menerima keberagaman dan kekhasan sebagai identitas baru yang baik.
Dalam Kemelut Pemberian Nama Adat Tanimbar
Sejak pertengahan abad ke-7 sampai abad ke-16, Portugis telah datang ke Indonesia dan lebih condong ke Indonesia bagian Timur untuk mengambil sumber daya alam, tetapi juga menyebarkan agamanya. Hal itu juga menarik perhatian pemerintah kolonial Belanda untuk datang ke Nusantara sejak akhir abad-16 hingga abad ke-19 dan memiliki tujuan yang sama dengan Portugis. Dalam penyebaran agama Katolik dan Protestan, semua masyarakat pribumi termasuk Kepulauan Tanimbar yang hendak dibaptis dan memeluk agama Katolik maupun Protestan, diharuskan untuk tidak memakai nama Kampung/Hindu, tetapi harus memakai nama pemberian dari para Misionaris, Zending, Guru-Guru Injil dan lainnya. Contoh nama-nama pemberian para pemuka agama itu adalah Yohanes, Markus, Paulus dan yang lain. Kendatipun kemelut itu terjadi, namun banyak dari Leluhur tidak melupakan identitasnya sebagai kekhasan kebudayaan bersama. Hal itu terbukti hingga sekarang ini orang-orang berdarah Tanimbar masih memakai nama adat Tanimbar. Semua ini mencirikan tentang pemahaman yang bertajuk pada kebudayaan bukan sekadar jubah kebesaran yang dikenakan, sehingga hanya pada saat-saat tertentu saja jubah itu dipergunakan. Artinya kebudayaan itu sekadar dipakai sebagai identitas belaka. Karena itu, kebudayaan mestinya dipahami sebagai darah dan daging yang mengalir dan menyatu dengan manusia, sehingga itu benar-benar hidup dalam kata dan tindakan individu pemeluk kebudayaan maupun kolektif yang terus mewarisinya dalam praktek bersama.
Kemelut baru di Kepulauan Tanimbar yang sangat disayangkan adalah para pemangku jabatan dan pemimpin pemerintahan yang merupakan anak darah Tanimbar, terus diberikan nama dan gelar adat oleh pemangku adat di suatu desa atas kesepakatan pemerintah desa dan tokoh adat. Hal ini telah bertolak belakang dengan empat unsur yang menurut penulis dapat menyandang nama adat Tanimbar tersebut. Sejatinya, semua orang yang memiliki darah Tanimbar dan hidup di Kepulauan Tanimbar, tentunya memiliki nama Kampung/Hindu, semua itu pemberian dari orang tua. Namun, terjadi penyalahgunaan pemberian nama adat Tanimbar kepada para pemangku kekuasaan di Kepulauan Tanimbar yang berdarah Tanimbar itu.
Sebagai anak Tanimbar saya cukup menyayangkan hal itu, sebab kesadaran akan identitas sebagai orang Tanimbar justru terkikis, belum lagi pemberian nama itu dilakukan karena faktor kepentingan politik untuk meraup suara yang banyak di suatu desa, maka pihak pemangku kekuasaan menegosiasikan untuk diberikan nama adat/kampung kepada dirinya dan bahkan hampir seluruh anggota keluarganya, supaya ia dan keluarganya dapat disebut sebagai anak adat desa A, B, C, dan lainnya. Kesadaran sebagai orang-orang Tanimbar yang memiliki kultur Duan Lolat telah terkikis, padahal sejatinya seluruh anak darah Tanimbar justru terikat di dalam kultur Duan Lolat, sehingga memiliki rasa kekeluargaan yang kuat, sehingga pemberian nama dan gelar adat pada orang berdarah Tanimbar sendiri merupakan sebuah kekeliruan. Hal ini pula kurang diperhatikan oleh para pemangku adat dan pemerintah di desa, sehingga pada akhirnya terkesan bahwa kita sendiri yang mencederai kebudayaan kita.
Semua hal yang terjadi tentu berada pada titik baik dan buruk, namun jika yang baik justru diarahkan pada kepentingan individu atau sekelompok orang yang ingin meraup keuntungan atas kesakralan kebudayaan yang ada, maka sudah pasti telah terjadi sebuah dinamika yang sama sekali tidak bermuara pada penghargaan dan penghormatan terhadap buah karya Leluhur, tetapi justi mencederainya dan bahkan menghancurkannya.
Komentar
Posting Komentar