MENGUAK MISIOLOGI KONTEKSTUAL DALAM ALINEA TIGA UNDANG-UNDANG DASAR 1945 BAGI GEREJA-GEREJA DI INDONESIA
Misi merupakan misiologi yang pada masa lalu dikenal dengan sebutan Apostolat atau ilmu Zending, semuanya bermuara pada pengutusan dan pemberitaan injil. Gereja diutus untuk memberi kesaksian tentang injil keselamatan sampai ke ujung bumi (Bosch, 2018:1). Pikiran David J. Bosch ini, juga selaras dengan Arie de Kuiper tentang missio yang dapat disamakan dengan pengutusan (zending/mission) yang dapat didefinisikan sebagai karya Tuhan (God’s Mission). Tetapi juga missio ecclesia yang merupakan tugas dan pengutusan gereja (Kuiper, 2004:10). Misiologi tidak akan terlaksana tanpa topangan gereja yang adalah konstitusi tetapi juga manusia. Sebuah pekabaran injil berasaskan pada teologi yang bersumber pada karya Tuhan melalui konteks manusia dan semesta.
Paradigma misi modern sangat dipengaruhi oleh pikiran pencerahan, sehingga gereja menghubungkan perkembangan industri dan ilmu pengetahuan modern (pada zaman itu orang Barat berpikir bahwa budaya Barat unggul) dengan kajian misi dalam arti, bahwa orang Barat juga berpikir tentang agama Kristen dan Injil menjadi unggul atas agama-agama lain di dunia ini. Karena itu, seorang manusia harus menjadi anggota gereja untuk mendapat keselamatan, sebab di luar gereja tidak ada keselamatan. Semboyan tersebut berdasarkan pada tafsiran sempit dari Matius 28: 16-20 tentang Amanat Agung. Model-model misi yang dilakukan pada zaman itu adalah mendirikan sekolah-sekolah, rumah-rumah sakit, puskesmas, proyek-proyek sosial, proyek-proyek pertanian, dan lainnya. Semua hal tersebut dilakukan sebagai cara agar menarik sebanyak mungkin orang-orang untuk bertobat dan masuk dalam gereja melalui pembaptisan, menjadi Kristen dan itu diyakini sebagai sebuah tindakan keselamatan. Pada zaman itu para misionaris sangat prihatin terhadap keselamatan orang-orang yang masih dianggap sebagai orang kafir, sebab jika tidak dibaptis maka mereka tidak akan diselamatkan. Dampak misi tersebut sangat besar di seluruh dunia pada abad ke-19 sampai pertengahan abad ke-20 dalam kekuasaan zaman penjajahan kolonialisme yang sangat besar (Singgih, 2006: 163-176).
Hasil warisan misiologi dari para misionaris sangat berkaitan dengan politisasi kolonialisme Belanda yang masih sangat kuat dipraktikkan pada abad ke-21 ini. Anggapan kafir bukan hanya terjadi pada masyarakat yang beragama leluhur atau suku, tetapi juga lima agama dunia lainnya yang ada di Indonesia, yaitu; Hindu, Buddha, Islam, Katolik, dan Konghucu. Misi mengKristenkan masih tetap bersumber pada Matius 28: 16-20 sebagai Amanat Agung yang justru tidak relevan pada konteks saat ini, dan jika demikian terus terjadi maka dapat penulis katakan sebagai sebuah kegagalan berteologi, misiologi dan eklesiologi di Indonesia.
Sebuah misiologi lebih cenderung dimulai dengan dasar-dasar Alkitabiah untuk misi, sehingga jika dasar-dasar ini telah dibangun maka tampaknya jalan argumentasi pengarang dapat dilanjutkan dengan mengembangkan temuan-temuan eksegetis menjadi sebuah teori atau teologi tentang misi yang sistematis (Bosch, 2018:21). Dalam artikel ini, penulis bermaksud untuk menempuh jalan yang berbeda, dengan pertibangan bahwa sebuah misi akan bergantung pada konteks di mana manusia secara individu maupun manusia secara kelembagaan dan konstitusi melakukan sebuah misiologi untuk menjawab tantangan dan peluang pada realitas yang terjadi.
Tindakan misiologi bagi agama dan gereja-gereja di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari jalan sejarah lahirnya UUD 1945 khususnya alinea tiga berkaitan dengan perjuangan dari primordialisme menjadi nasionalisme. Dalam konteks Indonesia, bangsa mendahului negara. Pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, 17 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, para pemuda dari seluruh Nusantara sudah menyatakan tekad mereka sebagai satu bangsa. Karena bahasa-bahasa ibu mereka berbeda, mereka menciptakan bahasa Indonesia sebagai bahasa bersama. Bahasa bersama itulah yang kemudian mempersatukan rakyat Nusantara. Akan tetapi bahasa bersama, bahasa Indonesia, tidak meletakkan dasar kebangsaan. Hanya karena para pemuda merasakan diri sebagai pemuda Indonesia, mereka memilih bahasa Melayu sebagai bahasa Indonesia dan bahasa Indonesia itu memang kemudian amat penting sebagai sarana mendalamkan kesadaran nasional rakyat Indonesia (Suseno, 2021: xxv).
Berlangsung sebuah misi penting dalam sejarah yang tidak terlupakan, bahwa Indonesia menjadi negara-bangsa yang baru terbentuk tahun 1945 dan sangat majemuk. Kemajemukan itu nampak dalam kesepakatan luhur para pendiri bangsa dari latar belakang suku dan agama yang beragam. Dari keberagaman tersebut, membuat masyarakat hidup dalam keharmonisan sebagai suatu bangsa yang tetap ada sampai sekarang, akan tetapi pada titik lain, selama 79 tahun mengalami pasang surut hubungan antar sesamanya. Dalam sejarahnya, pada masa Pra-Indonesia masing-masing daerah merupakan sebuah bangsa dengan identitas kesukuan yang memiliki budaya dan agama (agama suku atau leluhur maupun agama dunia), semua itu disebut sebagai identitas primordial. Bangsa-bangsa tersebut independen satu sama lainnya, hanya dipersatukan oleh administrasi kolonial pemerintah Hindia-Belanda. Kemudian pada 17 Agustus 1945, menjadi sebuah negara-bangsa Indonesia yang disebut sebagai identitas nasional dan baru diakui tahun 1949 (Titaley, 2001: 3-4).
Primordialisme menunjuk pada keberagaman agama suku atau agama leluhur dan agama dunia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Protestan dan Konghucu) merupakan sebuah harmoni maksimal Nusantara yang menjadi kekhasan keberagaman dengan dibalut oleh berbagai macam budaya sebagai identitas primordial pada individu maupun kolektif masyarakat Nusantara. Kendatipun demikian setiap tradisi beragama selalu bermuka dua, mengandung benih-benih rekonsiliasi dan kekerasan, eksklusif-partikularis dan inklusif-universalis (Latif, 2021: 110-113). Artinya keberagaman agama tidak selamanya dimanfaatkan dengan baik oleh penganutnya, sehingga banyak propaganda-propaganda politik yang dimainkan untuk semakin menghancurkan kehidupan bersama, sebab kehidupan publik mengalami kekurangan dalam kedalaman makna yang dapat membangkitkan kesetiaan dan komitmen sesama warga. Namun pada titik lain, jika agama dapat direduksi ke dalam batin individu maupun kolektif dengan begitu baik, maka akan terciptanya tatanan kehidupan bermasyarakat yang harmoni dan indah.
Peristiwa 17 Agustus 1945 tentang Proklamasi Kemerdekaan Bangsa Indonesia dan 18 Agustus 1945 pada sidang PPKI untuk menetapkan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara bangsa Indonesia, serta Undang-Undang Dasar 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai pilar negara bangsa Indonesia. Sayangnya nilai kesetaraan dalam UUD yang diterbitkan MPR setelah amandemen tahun 2000-2002, UUD tersebut tidak setinggi nilai kesetaraannya dengan yang asli, karena dalam Aline Tiga Pembukaan UUD 1945 hasil amandemen, tertulis “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Masuknya kata Allah menggantikan Tuhan, tidak sesuai dengan keputusan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 berdasarkan usul I Gusti Ketut Pudja yang lengkapnya “Atas berkat rahmat Tuhan Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Namun dalam realitasnya, kini tidak lebih maju dan baik dari apa yang dicapai para pendiri negara bangsa Indonesia (Bahar, dkk. 1998:533).
Kenyataan yang terjadi dalam Aline Tiga UUD 1945, maka penulis perlu melakukan sebuah kajian mendalam tentang misiologi kontekstual dalam Alinea Tiga Undang-Undang Dasar 1945 bagi gereja-gereja di Indonesia. Dengan demikian untuk mencapai semua itu, penulis memakai pikiran John Titaley tentang lingkaran hermeneutik berteologi, di mana terdapat tiga titik yang sangat fundamental dan tidak dapat dilepas pisahkan. Tiga hal tersebut adalah Teologi, Misiologi, dan Eklesiologi. Metodologi ini merupakan kerangka yang menyebabkan sebuah eklesiologi yang kontekstual, juga misiologinya. Teologi sebagai tindakan Tuhan, tidak terjadi tanpa misiologi. Jika teologi adalah pemahaman atas tindakan yang Ilahi dalam kehidupan manusia, maka teologi itu berada pada tataran abstraksi. Dia berupa pemahaman yang terbangun atas pengalaman nyata manusia dengan Tuhan yang hidup dalam tataran empirik. Karena tindakan yang Ilahi tidak terjadi tanpa alasan, maksud dan tujuan tertentu (misi), maka teologi itu mesti berkaitan dengan misiologi. Dengan demikian maka maksud dan tujuan tindakan Ilahi itu diwujudkan dalam tindakan sehari-hari (social action), maka pemahaman yang berada pada tataran abstrak itu berwujud pada tataran empirik sebagai eklesiologi (Titaley, 2024:23-24).
Berdasarkan perjumpaan Gereja dengan manusia yang berbudaya, terjadilah umpan balik tentang relevansi misiologi. Ketika misiologi bermasalah, perlu ada konfirmasi dari teologi. Setelah konfirmasi teologi dilakukan, muncul rumusan misiologi yang telah dikonfirmasi supaya relevan. Berdasarkan misiologi yang relevan itu, gereja perlu meninjau ulang bangunan organisasi untuk pelaksanaan misiologi itu lagi. Bentuk dan bangunan organisasi yang berdasarkan misiologi itulah eklesiologi. Ketika aksi dan refleksi ini terjadi terus menerus, maka lahirlah rangkaian eklesiolgi yang spiral. Dengan rangkaian eklesiologi yang spiral, gereja menjadi relevan dan hidup serta bermanfaat bagi dunianya. Rangkaian eklesiologi ini, membuat gereja pastilah misiologis sekaligus kontekstual. Gereja yang demikian itu adalah gereja yang misiologik, gereja yang hidup, selain melaksanakan misiologi lewat berbagai struktur yang ada, juga mempelajari kehendak Tuhan bagi masyarakatnya berdasarkan pengamatan yang cerdas atas situasi kehidupan masyarakat. Semuanya terjadi dengan tuntunan Roh Kudus, karena itulah sumber dan bahan bakar, enerji, gereja (Titaley, 2024:24-25).
Titaley juga mengatakan, gereja masih terjebak dalam paradigma Kekristenan yang tidak kontekstual. Gereja masih gereja Barat (Kolonial). Sebagaimana jubah yang digunakan, masih jubah gereja Barat. Liturgi, nyanyian-nyanyian, doktrin, dan eklesiologi. Eklesiologi sebagai perangkat strategis dalam pelaksanaan kegiatan bergereja belum jelas sumber misiologinya. Kemudian misiologi juga belum jelas dasar teologinya. Persoalan gereja terletak pada dasar teologi yang sampai sekarang tidak terumuskan dengan baik (Titaley, 2024:9-10). Dengan demikian, pada tulisan ini penulis akan membuka jalan misiologi yang kontekstual dan tentunya tidak akan terlepas dari teologi dan eklesiologi yang merupakan lingkaran spiral hermeneutik.
Artikel lengkapnya dapat menghubungi penulis, atau akan dipublikasikan dalam jurnal yang sementara diproses.
Komentar
Posting Komentar