ISLAM KRISTEN DI MALUKU, SEGREGASI ABADI? MENCARI JALAN DAMAI

 

Seorang tokoh Muslim bernama Buya Syakur, pernah berkata, "yang kita butuhkan di Indonesia bukan toleransi, tetapi kesetaraan." Dengan pernyataan Buya Syakur ini, ada sesuatu yang beginya secara mendalam telah ia geluti dan mengharapkan agar terciptanya Indonesia yang setara dalam kehidupan sosial masyarakat (HAM). Toleransi memang mengarahkan pada tindakan untuk saling menghargai dan menghormati sebagai sesama warga negara yang berkeyakinan berbeda (memeluk agama yang berbeda). Kendatipun demikian, jika toleransi itu dilihat pada sisi lain, akan ada sebuah tindakan tolerir terhadap sesuatu yang sedang terjadi khususnya tindakan kekerasan. Sebagai gantinya, terjadi pendekatan yang bertujuan untuk sebuah jalan perdamaian. Hal tersebut tidak salah, namun jalan damai yang dilakukan untuk terjadinya kehidupan saling menerima perbedaan telah didasarkan pada kesadaran setiap pelaku dan korban kekerasan atau tidak? Jika rekonsiliasi perdamaian terjadi hanya dengan cara pemerintah mengembalikan lagi fasilitas masyarakat yang dimiliki secara bersama maupun pribadi berupa bangunan rumah, kendaraan, dll, maka bagaimana dengan korban jiwa yang meninggal karena kekerasan tersebut? Bagaimana pula cara penyelesaian segregasi berpikir (psikologi masyarakat) yang mengalami konflik?

Sejauh yang terjadi di Indonesia dan Maluku khususnya, memang sejak awal terjadi perang suku untuk merebut kekuasaan, tetapi sama sekali tidak bersentuhan dengan konflik yang mempergunakan agama sebagai alasan terjadinya konflik. Dalam analisis berdasarkan sejarah panjang konflik di Maluku yang penulis amati berdasarkan historical and textual materials (literatur yang berkaitan dengan sejarah konflik di Maluku) maupun secara langsung di lapangan. Rupanya propaganda Republik Maluku Selatan (RMS) tahun 1950 tidak terselesaikan dengan tuntas di Maluku. Apa yang tidak terselesaikan? Penyembuhan psikis masyarakat yang mengalami konflik akibat isu agama yang turut dimainkan saat pergolakan RMS terjadi. Akhir dari semua itu adalah sebuah legacy segregasi berpikir yang masih terbentuk kuat hingga menimpa Maluku di tahun 1999 pecahnya Konflik Maluku. Dengan demikian, akankah segregasi atas nama agama dunia di Indonesia khususnya Maluku akan kekal? Kita bukan penyembah agama, tetapi penyembah Tuhan. Agama bukan Tuhan, agama hanya alat menuju Tujuan. Oleh karena itu, jika yang diajarkan para pemuka agama berkaitan dengan konflik dan kekerasan patut disanggah, sebab Tuhan tidak mengajarkan manusia berkonflik, justru perdamaian dalam perbedaan adalah bagian utuh dari apa yang Tuhan inginkan.

Erik H. Erikson, seorang ahli psikologi dengan pendekatan psikohistoris, dapat melihat bagaimana lingkungan hidup seseorang dari awal sampai akhir dipengaruhi oleh masyarakat serta peristiwa yang terjadi. Terjadinya suatu penyesuaian timbal-balik antar individu dan lingkungannya, hal itu berarti ada keseimbangan individu untuk menyesuaikan diri dengan suatu ruang hidup yang senantiasa berkembang dari orang-orang serta institusi, supaya dia dapat menjadi bagian dari perhatian kebudayaan yang terus menerus. Kehidupan psikis seseorang dapat berkembang secara pasti berdasarkan masyarakat yang memengaruhinya, bahkan peristiwa-peristiwa yang terjadi dan menjadi bagian untuk membentuk psikis dan karakternya. Dengan demikian, identitas psikohistoris disadarkan atas tiga penyesuaian, atau merupakan tiga aspek dari suatu persesuaian yang sama, yakni:

  1. Antara koherensi pribadi seseorang individu dan integrasi peranannya dalam kelompok.
  2. Antara gambaran-gambaran acuannya dan ideologi zamannya.
  3. Antara sejarah hidupnya dan momen historis (Erikson, 1989: 136-140). 
Jika menelusuri lebih dalam pandangan Erikson di atas, maka menjadi pasti bahwa sebuah peristiwa konflik dapat memengaruhi kuat atas tindakan dan perilaku seseorang maupun kelompok, di mana konflik yang terjadi di Maluku pada masa lalu, membentuk kuat karakter masyarakat yang menganggap bahwa mereka adalah korban kekerasan maupun mereka yang lebih kuat karena banyak jumlah jiwa. Segregasi geografis (wilayah) memang bukan hal baru, sebab posisi tepat tinggal masyarakat yang dominan berada pada desa Muslim dan Kristen tersendiri akan menciptakan suasana batin yang kuat dengan cerita-cerita warisan orang tua yang tidak bertajuk pada perdamaian, tetapi justru cenderung pada perbedaan yang bertujuan untuk konflik atas nama agama dan wilayah. Segregasi berpikir sangat berdampak buruk pada tindakan, bilamana tidak terselesaikan dengan baik, maka kapanpun ada peluang terjadinya konflik, akan dengan sendirinya terjadi di Indonesia dan Maluku khususnya.

Akibat konflik dan kekerasan yang terjadi akhir-akhir ini di Maluku, maka penulis mengkaji konteks masyarakat Maluku yang sejatinya lebih cenderung mewarisi segregasi berpikir akibat konflik masa lalu yang tidak terselesaikan dengan baik.

Sejak abad ke-4, kerajaan-kerajaan Hindu dan Buddha telah menguasai sebagian wilayah Nusantara yang cukup luas. Kemudian sejak abad ke-9, mulai muncul kesultanan-kesultanan Islam di wilayah Nusantara. Selanjutnya abad ke-16, datanglah Portugis dengan misi Kristen Katolik di Indonesia bagian Timur. Kemudian melalui badan dagang Belanda, VOC sejak awal abad ke-17 sampai akhir abad ke-18 hadirlah Kristen Protestan, yang selanjutnya diteruskan oleh Indische Kerk (Gereja Hindia Belanda pada abad ke-19. Dalam perkembangannya yg jika dilihat secara konfessional, maka manusia Indonesia akan berpegang teguh terhadap agama-agama yang datang dari Barat sebagai hal miliknya dan bahkan masih dipertahankan sampai saat ini (Ngelow, 2017 & 2023).

Dahulu sebelum kehadiran agama-agama dunia di Indonesia (Hindu, Buddha, Islam, Katolik, Kristen, dan Konghucu) yang memengaruhi seluruh wilayah di Indonesia sehingga memberi corak kebaragaman agama dunia, manusia pada masing-masing wilayah telah memiliki agama Leluhur (Suku) tersendiri. Kehidupan masyarakat berkonflik antarsuku karena perebutan kekuasaan, tetapi terjadinya perdamaian karena kebudayaan yang dulunya adalah agama masyarakat pribumi. 

Masyarakat Muslim di Maluku merupakan sebuah kategori yang berbeda dengan Muslim yang tinggal di Maluku. Perbedaan mereka bukan terkait asal-usul mereka saja tetapi juga menyangkut pemahaman dan praktik keagamaan, corak keberagamaan, pandangan terhadap adat setempat dan local wisdoms, orientasi politik, maupun sistem perekonomian yang mereka kembangkan. Kaum Muslim Maluku lebih respectful terhadap adat dan warisan nenek moyang. Bagi mereka, berbagai wacana keagamaan juga harus di-adjust dengan adat setempat. Tidak boleh ada wacana keagamaan yang bertentangan dengan adat masyarakat. Berbeda dengan kaum Muslim yang tinggal di Maluku, mereka justru cenderung menganggap budaya bertentangan dengan agama. Tidak hanya kaum Muslim yang plural, umat Kristen juga majemuk. Di mana Gereja Protestan Maluku (GPM) yang bermazhab Calvinis lebih dominan di Maluku. Akan tetapi juga dengan berbagai keberagaman aliran yang ada dan konteks praktek beragama mereka (Al Qurtuby, 2018: 2-4).

Dengan adanya Muslim dan Kristen yang bercorak praktek keagamaan mereka, yang kemudian tidak secara baik menyikapi seluruh hal yang terjadi, maka kekuatan segregasi berpikir akan memacu kuat terjadinya konflik fisik. Padahal, harusnya keberadaan agama harus memberi rekatan yang kuat dalam menjalin kesetaraan sebagai orang beragama. Bukan saja sebatas itu, tetapi terjalin kuat kehidupan orang basudara harusnya terus terjaga sehingga tidak memicu konflik berkepanjangan.



Kepustakaan 

Al Qurtuby, Sumanto. Islam & Kristen: Dinamika Konflik dan Masa Depan Perdamaian di Ambon. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
 
Erikson, Erik H. Identitas dan Siklus Hidup Manusia: Bunga Rampai 1, translet. Agus Cremers. Jakarta: PT Gramedia, 1989.

Ngelow, Zakaria J. Kekristenan dan Nasionalisme: Perjumpaan Umat Kristen Protestan dengan Pergerakan Nasional Indonesia 1900-1950. Jakarta: BPK Gunung 
Mulia 2017.

Ngelow, Zakaria J. "Gereja dan Sejarah Kebangsaan Indonesia." Dalam Aritonang Asteria & Apituley Sylvana (ed.). Berteologi Dalam Sejarah: Masa Lalu Memanusiakan, Masa Depan yang Purnakala. Jakarta: BPK Gunung Mulia 2023.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MENG HARI-INI-KAN INJIL KEPADA ANAK-ANAK

HIMPUNAN MAHASISWA DAN PEMUDA LELEMUKU KABUPATEN KEPULAUAN TANIMBAR MENG-HARI-INI-KAN HUKUM BAGI MASYARAKAT

REFLEKSI EMERITUS PROFESOR DAN PENDETA: PDT. (EM.) PROF. (EM.) DR. (H.C.) JOHN A. TITALEY, TH.D.